Titik Temu Cak Nur dan Soekarno
Perdebatan soal pertentangan agama dan negara bukan hanya mencuat akhir-akhir ini, sesungguhnya dialektika itu telah terjadi sejak lama. Jika Nahdlatul Ulama memiliki jargon “Hubbul Wathon Minal Iman” yang dicetuskan oleh Mbah Hasyim, maka Soekarno dan Cak Nur bersua dalam pertemuan yang menarik soal isu-isu keumatan dan kebangsaan.
Pertemuan yang dimaksud di sini bukanlah pertemuan fisik yang mempertemukan Cak Nur dan Bung Karno, melainkan titik temu pemikiran. Kita akan mengulas titik temu pemikiran keduanya mengenai relasi antara agama dan bangsa. Kita akan memulainya dengan mengutip salah satu pidato Sang Proklamator itu “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”
Berbagai ekspresi tentu muncul menanggapi kutipan itu, ada yang mempertanyakan bagaimana nilai tradisi yang menjadi tempat asal agama agama itu, dari sudut pandang lain tentu ada banyak orang yang mengamini ucapan itu, bahwa menjadi orang beragama semestinya tidak menjauhkan kita dari nilai nilai Nusantara.
Ulasan ini akan berupaya untuk menemukan relasi antara Beragama dan Berbangsa dalam perspektif Prof. Nurcholish Madjid dan Ir. Soekarno, sebagai salah satu ekspresi penulis dalam merefleksikan tokoh ini.
- Sekilas Soal Bung Karno Di Penjara
Pada tahun 1929, Soekarno dijebloskan ke penjara Sukamiskin, Bandung. Sebagai orang yang rajin membaca buku, sang revolusioner itu tentu tak bisa lepas dari bacaan, sayangnya ia dilarang membaca buku buku politik. Nah, inilah saat di mana Soekarno kembali merefleksikan diri dengan banyak membaca kembali buku-buku mengenai ajaran Islam.
Agustus, 1933, ia kembali ditangkap, di pengasingan ini Presiden pertama RI itu kembali merenungi dan mendalami lebih jauh ajaran ajaran Islam. Hingga di asingkan kembali di Bengkulu (1938-1942), Bung Karno makin serius menggeluti pemikiran Islam, tak sampai disitu beliau juga sempat menulis beberapa artikel di berbagai media.
- Dari Islam Sontoloyo Hingga Surat-surat dari Ende
Selain tulisan-tulisan Bung Karno yang lain yang pada pokoknya menyerukan untuk menyegarkan kembali pemikiran Islam, tulisan beliau yang juga sempat memicu kontroversi adalah Islam “Sontoloyo”. Ada semacam kerisauan Bung Karno melihat kondisi umat Islam yang mandek dan mengalami kejumudan.
Begitu pula apa yang ditulisnya dalam apa yang disebut dengan surat surat dari ende, yang bahkan Soekarno melihat bahwa kala itu (barangkali sampai saat ini) Umat Islam terlalu “mendewakan” Fiqih dan menganggap bahwa itu satu satunya sumber ajaran agama. Padahal menurut Bung Karno, ketundukan dan sikap pasrah kepada Tuhanlah inti dari Ajaran Islam itu sendiri.
- Api Islam: Titik Temu Cak Nur dan Bung Karno
Bung Karno menginginkan Umat ini bangkit dan menjadikan Islam sebagai “api”, hidup dan terus menyala, tak mati atau bahkan habis seperti “abu”. Berbagai macam gagasan-gagasan Bung Karno itulah yang kemudian kelak disambut oleh Cak Nur.
Salah satu yang paling fundamental dari titik temu itu ialah soal relasi agama dan bangsa. Jika Bung Karno lihai dalam melanggengkan nilai nilai kebangsaan kepada tauhid, maka Cak Nur adalah orang yang sangat aktif dalam menyerukan bahwa nilai nilai ketuhanan itu senafas dengan nilai kebangsaan.
Tidak sampai itu, pertemuan keduanya juga terlihat dalam pandangan soal “sekulerisme”, dimana Islam tidak memerintahkan negara Islam. Caknur amat dalam membahas persoalan ini hingga menghubungkannya pada nilai nilai theologis. Bagi keduanya, Islam lebih mengutamakan “kultur” bukan pada “politik” nya.
Islam lebih mengutamakan kualitas atau isi, bukan pada kuantitas atau kulit semata. Sehingga yang menjadi pokok ajaran Islam dalam hal ini bukan simbol-simbol saja dengan menggunakan istilah-istilah yang dianggap bersumber dari Islam seperti syariat dan seterusnya. Islam dalam hal ini berbicara soal bagaimana mewujudkan masyarakat adil, sejahtera, yang pada intinya mesti mencapai maslahat meski lewat pintu mana pun.
Inilah pertemuan pemikiran itu, yang membedakan hanyalah latar belakang saja. Jika Bung Karno adalah seseorang yang lahir dari keluarga abangan dan menjadi tokoh revolusioner, maka Cak Nur adalah orang yang lahir dan tumbuh besar di keluarga santri memegang tradisi pesantren. Sehingga menarik jika melihat berbagai dialektika yang muncul ketika dua tokoh besar ini menyerukan pembaharuan