Membaca Indonesia dari Baliho Hingga Pandemi
Share on facebook
Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Membaca Indonesia dari Baliho Hingga Pandemi

pixabay

Apa yang Anda lakukan saat 17 Agustus tiba? Upacara, Mengadakan Lomba, atau mungkin tidak melakukan apa pun?

Apa pun itu, di jalanan semenjak 1 Agustus kemarin  bendera merah putih sudah berkibar gagah, tidak hanya berkibar di depan sekolah dan kantor-kantor, ia juga berkibar di depan rumah rakyat jelata, hingga saat 17 Agustus berbagai status di berbagai platform media sosial edisi kemerdekaan berseliweran.

76 tahun telah berlalu kemerdekaan itu diproklamirkan dengan penuh semangat, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta. Hari ini di tengah pandemi, kita peringati kembali hari kemerdekaan itu. Anhar Gonggong, sejarawan Indonesia menuturkan bahwa saat Agustus, tibalah masa-masa susah baginya, di mana ia merenung atas segenap perjalanan bangsa ini.

Saat artikel ini ditulis, saya didampingi album lagu nasional. Susah merasakan sensasi yang amat berbeda, sebuah perasaan batin yang susah untuk di deskripsikan.

Tidak banyak yang bisa kita lakukan untuk mengekspresikan kegembiraan itu hari ini. Tidak ada panjat pinang, pacu karung, dan berbagai permainan tradisional lainnya, semalam pemerintah mengumumkan PPKM masih diperpanjang.

Ulasan ini hadir membawa sebuah refleksi bagi kita semua, Rakyat Indonesia. Mari kita mulai dengan sebuah pertanyaan, Sudah Merdekakah kita?

Secara historis, 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Kemerdekaan sebuah negara mesti mendapatkan pengakuan oleh bangsa lain. Palestina justru pada tahun 1944 mengakui Indonesia sebagai sebuah negara secara de facto. Pasca 1945, kemudian beberapa negara ikut mendeklarasikan pengakuan, seperti: Mesir, India, Australia, Suriah, Lebanon, Yaman, Belanda, dst.

Dalam proses itu, bermacam memiliki kendala kita lewati. Kita ingat saat Bung Tomo, Kyai, Santri serta  Arek-arek Suroboyo saat mengusir Inggris dari tanah kita, Lewat Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Mbah Hasyim, kemudian pidato membakar dari Bung Tomo, kita berhasil kala itu.

Dari sekelumit cuplikan sejarah di atas, tentu kita sudah mampu menjawab pertanyaan tadi, dengan lantang kita akan berteriak, “Merdeka.” Namun, sesederhana itukah kemerdekaan?.

Apa sebenarnya isi dari kemerdekaan itu? Kenapa pejuang kita dulu mati-mati an ingin merdeka? Menjawab dari pertanyaan sederhana itu, kita mesti menilik pemikiran para pendiri bangsa ini, soal cita cita kemerdekaan itu.

Bung Karno dalam gagasannya saat berpidato pidato di depan sidang Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, 1 Juni 1945, menyebutkan “Tidak boleh ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka,”

Kalimat itu amatlah sederhana. Namun, jika direnungkan lebih dalam, betapa pendiri bangsa kita itu ingin bahwa orang-orang yang hidup dalam negara Indonesia itu harus sejahtera, bergembira dan bahagia. Tidak lagi bisa di jajah oleh siapa pun dan apa pun, termasuk idealisnya seorang pemuda, pemikir, penguasa.

Tentu itu bukan tanpa sebab. Kita bisa saja berdebat bahwa ekonomi memang bukanlah jaminan untuk ukuran kebahagiaan. Tapi kita bisa sepakat betapa banyak kehancuran yang disebabkan karena dampak dari bobroknya ekonomi.

Saatnya membaca Indonesia. Pandemi yang masih menghantui, membuat segalanya tak pasti. Di tengah banyaknya status dan tagline soal kemerdekaan, hari ini ada banyak ayah yang kehilangan pendapatan hingga pekerjaan. Pedagang pedagang kopi tak lagi melihat keramaian di meja kopinya, sebab masih di batasi oleh kebijakan pemerintah. Sementara itu, angka perceraian terus meningkat selama pandemi Covid.

Sayangnya, di saat yang bersamaan kita justru melihat foto foto gagah dengan berbagai macam warna di pinggir jalan. Senyum menyapa, jilbab dan kopiah tak ketinggalan, di bawahnya pun di tambahi dengan angka “2024”.

Saya tidak menafikan keikutsertaan para politisi dalam membantu menyelesaikan pandemi. Namun, jika di telusuri lebih jauh. Biaya untuk memasang baliho itu bukanlah harga yang murah. Anda bisa bayangkan jika dana-dana itu diperuntukkan untuk mereka yang sedang pusing memikirkan makan besok pagi. Ada ayah yang sedang memikirkan biaya kuliah anaknya atau bahkan seorang janda yang sedang menangis menyusui anaknya.

Lebih jauh dari itu, sebenarnya kalaupun tidak dibantu. Semestinya, harus ada semacam kesamaan rasa bagi kita semua. Bergandengan tangan, menyatukan langkah, menyamakan persepsi untuk memerangi pandemi ini. Bukan lagi saatnya memprioritaskan kepentingan pribadi atau  bahkan politik.

Bukankah itu makna Merdeka jika kita maknai di tengah pandemi? Apa kita tidak merasa capek dengan polarisasi yang menghancurkan kita sampai hari ini?

Siapa pun yang membaca tulisan ini, saya berharap kamu lah orang yang peka terhadap berbagai problematik bangsa kita, kamulah orang-orang yang mengisi kemerdekaan tidak hanya dengan selebrasi semata. Melainkan belajar dengan baik, menganalisis dan berkontribusi untuk kemajuan negeri.

Saat bangsa-bangsa lain sudah memikirkan cara tinggal di Mars dengan kemajuan teknologinya, kita masih saja sibuk memikirkan fatwa ini dan itu. Saat bangsa-bangsa lain sudah bebas bersilaturahmi dan mencabut kewajiban bermasker, kita masih saja sibuk berdebat soal konspirasi covid. Dan saat anak-anak di bangsa lain sudah berinovasi, di tempat kita masih saja ada anak-anak yang tidak tahu bagaimana mute dan unmute audio saat daring.

Terima kasih telah membaca ulasan ini. Sederhana cita cita itu, Indonesia merdeka itu tak lagi orang miskin di dalamnya. Saya membayangkan saat itu hadir. Saat pemilu tak lagi yang memilih karena di bayar, maka kita akan menghasilkan pemimpin yang baik. Saat melamar pekerjaan, tak lagi ada cerita sogokan di kantor dan berbagai macam institusi, maka kita akan menyaksikan pekerja militan nan cerdas, pendidik berkualitas, serta totalitas dalam segala hal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami

Sibiren.com lahir dari jalanan, rahim kandung peradaban, tanpa beraffiliasi ke organisasi manapun, Kami berkomitmen menjaga independensi dalam setiap gerakan.

Merawat budaya, Menghidupkan tradisi ilmiah dan Mengutamakan kemanusiaan adalah kunci utama dalam membangun jembatan menuju Peradaban Indonesia yang Futurusitik. Inilah jalan kami ikhtiarkan.  Inilah jembatan kecil yang kami sebut Care For Humanity, Hone Intellectuality, Strengthen Spirituality

Sibiren.com dengan semangat ingin menyuguhkan ide yang beragam dalam Indonesia kita. Solidaritas, Intelektualitas dan Spiritualitas adalah 3 hal utama yang menjadi fokus kita untuk di perkuat di Bumi Nusantara sebagai Ikhtiar menuju Bangsa yang memiliki Peradaban Maju.