
Pagi-pagi sekali saya mengajak Anda membayangkan seorang ayah yang capek bekerja seharian. Sebelum pulang ia dimarahi atasan, tiba di rumah dimarahi istri karena tunggakan listrik, tetangganya ikut ribut membicarakannya, belum lagi soal hutang yang semakin menumpuk.
Karena pusing, ia mencoba mencari ketenangan dan kedamaian di masjid dengan mendengarkan pengajian. Sesampainya di masjid, bukan ketenangan yang didapat, ia malah mendengarkan cerita tentang gunting di neraka, tusukan besi panas serta karakteristik api neraka. Menyedihkan bukan?
Setelah Rasulullah SAW meninggal, sampai hari ini tentu banyak sekali interpretasi soal ajaran Islam. Mulai dari tentang bagaimana Islam yang benar, hingga kaidah tafsir Al-Quran mana yang pas atau Hadits mana yang sahih.
Pada Juli 2005, di Amman, Yordania sekitar 200 ulama dari 50 negara berkumpul. Dalam pertemuan itu saja setidaknya ada 8 mazhab yang diakui.
Prof. Dr. Quraish Shihab dalam bukunya Islam yang saya anut menyebutkan bahwa salah satu atau semuanya berpotensi benar dan semuanya itu juga berpotensi salah. Artinya, kita diminta untuk lebih bijak dalam menentukan dan menyikapi berbagai perbedaan dalam agama itu.
Karena agama itu amatlah luas. Selain diminta lebih bijaksana, kita juga diminta untuk mau belajar dan selalu mencari tahu tentang segala yang kita lakukan hari ini, karena tanpa Ilmu, sikap kita terhadap berbagai problem keumatan kerap kali hanya selesai sampai titik emosi.
Saya merasa teman-teman sudah mulai bijak dengan perbedaan dalam Islam itu. Jika pertanyaannya adalah yang mana yang paling kebenaran, saya akan menjawab carilah sesuatu yang mendekati maslahat, suatu ajaran yang memberikan manfaat tak hanya bagi kita secara individu, tapi juga bagi manusia lain dan alam semesta. Karena tidaklah mungkin Tuhan mengajarkan kesusahan, penderitaan, itu tentu sangat paradoks dengan sifatnya yang rahmah dan penuh cinta. Mari kita selami Ber-Islam Bergembira ini lebih jauh.
Kehadiran tulisan ini tidak lepas dari keprihatinan terhadap kondisi umat Islam Indonesia hari ini. Saya melihat ada semacam kegagalan oleh para da’i dalam mendakwah kan Islam. Tak sedikit mimbar-mimbar berubah menjadi tempat di mana kebencian disampaikan, masjid juga kadang dijadikan tempat di mana kontrak politik disetujui. Sehingga para dai kerap kali bertindak seperti Tuhan.
Kalau tidak mengikuti apa yang ia katakan langsung akan di azab dan masuk neraka. Jika mengikutinya akan dihadiahi bidadari cantik di surga, hehe. Sudah kayak pantia akhirat aja. Saya ingin menegaskan saja, bahwa Ber-Islam itu tak hanya soal Surga dan Neraka saja. Keduanya itu merupakan makhluk dari banyaknya makhluk Tuhan yang diciptakan Tuhan sebagai rumah abadi bagi manusia di akhirat nanti.
Lebih lanjut,
Membicarakan soal Surga dan Neraka memanglah tidak salah. Bahkan kita diajarkan di dalam doa dan sering kita aminkan sebuah permintaan yang memohon agar dimasukkan ke surga. Akan tetapi menjadikannya sebagai pusat ajaran Islam dan memonopolinya tentu berlebihan. Sehingga itu merusak esensi dari ajaran Islam itu sendiri.
Rahman dan Rahim adalah sifat utama Tuhan, Rasulullah di utus untuk menyebarkan kasih sayang bagi seluruh alam. Apakah itu tidak cukup bagi kita untuk menjadikan kasih sayang sebagai pijakan dalam beragama?
Seluruh ajaran Islam itu tak hanya bertujuan untuk menguatkan kepercayaan dan hanya berbicara soal wilayah spritualitas saja, lebih dari itu semua. ia memberikan benefit terhadap kesehatan manusia, semisal salat, puasa, dsb. Bukankah itu kegembiraan?
ia ajarkan cara bagaimana pentingnya manusia menjaga manusia lainnya, sehingga membunuh satu manusia itu sama dengan membunuh seluruh manusia. Bukankah itu kegembiraan?
ia tuntun kita untuk menjaga rumah bersama ini. kita diminta untuk mencintai alam ini, dengan memelihara dan menjaganya. Bukan itu kegembiraan?
ia juga berbicara soal kemanusiaan yang tinggi. Bilal si kulit hitam di angkat jadi bilal. kemudian dinaikkan harkat dan martabat, lebih dari itu, ia juga tak mengastakan manusia karena harta, tahta, dsb. Hanya takwalah yang membedakannya. Bukankah itu Bergembira?
Saya menjadi teringat dengan apa yang pernah di sampaikan Muhammad Iqbal, “Bilamana ia, Abdul Quddus, sampai ke langit tertinggi untuk menjumpai Allah, Zat yang dirindukan para salik, maka barang tentu ia enggan kembali lagi ke bumi. Tidak demikian halnya dengan Nabi Muhammad SAW, yang kembali turun ke bumi untuk mengabarkan kewajiban salat serta firman-firman lainnya dari Allah SWT. Artinya, Nabi memiliki daya jangkau yang mengutamakan nasib umatnya, bukan pribadi seorang.”
Mengesakan Allah ternyata bukan hanya soal duduk di atas sajadah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan ritual. Jika boleh saya sampaikan, bahkan mentauhidkan Allah itu mesti ter-ejawantahkan dalam perilaku sosial. Inilah sedikit potret soal Berislam Bergembira.