Gelandangan dan Palestina
Share on facebook
Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Gelandangan dan Palestina

hosnysalah/pixabay.com

Di perempatan jalan, tiba-tiba di bawah lampu merah seorang anak penjual koran bertanya, “Bang, apa sebenarnya yang terjadi di Palestina? kenapa masih anak-anak se usia saya juga ada yang menjadi korban? ” Pertanyaan anak itu memanglah sederhana, tapi bagi saya yang terdiam mendengar pertanyaan itu, kesulitan untuk menjawabnya. Sepertinya saya tidak mau diam begitu saja.

Beberapa meter dari lampu merah itu ada bapak Bapak penjual minuman, kemudian saya ajaklah Adek itu duduk istirahat di sana. Sebisa mungkin saya akan menjelaskan pendapat saya soal apa yang terjadi di Palestina.

Mulailah saya bercerita, “Gini, meski abang bukan ahlinya dalam bidang Hubungan Internasional, sebisa mungkin abang akan menjawab dalam beberapa perspektif. Sebelum melangkah lebih jauh, tidakkah rasa kemanusiaan kita terpicu untuk peduli terhadap anak-anak dam wanita tak berdosa yang ikut menjadi korban pembantaian? tidakkah kita kasihan melihat rumah ibadah ternoda? Apakah dengan rasa kemanusiaan saja tak cukup bagi kita untuk berpihak pada Palestina?”

Adek itu kemudian dengan polosnya bertanya lagi, Apakah rasa kemanusiaan itu cuma berada kalau Palestina diserang bang? Bagaimana dengan saya dan teman-teman yang tiap hari di jalanan? Katanya orang-orang di Papua juga merasa di jajah, dan kayaknya masih banyak masalah kemanusiaan di sekeliling kita bang? kita tidak ada yang melakukan aksi besar besaran soal itu semua?

Saya menarik nafas panjang-panjang, kemudian saya menjawab lagi dengan penuh hati-hati. “Saya sepakat dek, bahwa persoalan kemanusiaan bukan hanya berbicara soal Palestina saja, kejahatan sekecil apa pun yang melanggar kemanusiaan harus kita tolak dan suarakan. Ada banyak hal memang problem kemanusiaan di sekeliling kita yang tak kunjung selesai, abang bahkan katakan banyak sekali.

Namun, kali ini bicara soal pelanggaran kemanusiaan yang lebih besar. Dimana Undang-undang kita mengamanatkan bahwa Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Begini, Apakah seorang Ayah yang bekerja keras untuk membiayai anaknya kuliah dan membutuhkan dana besar kemudian melupakan anak anaknya yang juga butuh nafkah? Tidak kan? Saat kita menyuarakan soal kemanusiaan di Palestina bukan berarti kita melupakan berbagai macam masalah kemanusiaan di sekekeliling kita, bedanya kali ini berskala lebih besar.” Pelan-pelan ia mulai mengerti, Tapi bukan berarti anak itu berhenti bertanya. Ditanyakannya lagi, “Berarti ini bukan masalah Agama ya bang?”

Saya yang dari tadi mencoba untuk tidak mengaitkan dengan agama agak sedikit bingung untuk menjawabnya. Pelan-pelan saya terangkan lagi, “Perlu analisis yang sangat panjang untuk mencari akar permasalahannya di mana. Abang ingin bilang begini saja, Bahwa bagi banyak orang agama itu adalah sesuatu yang sakral, sesuatu yang baginya itu adalah kebenaran yang akan menyelamatkan hidupnya.

Terlepas dari bahwa itu adalah Agama atau tidak, Tapi orang juga tidak bisa kita salahkan saat salah satu simbol dari kepercayaannya di rusak, katakanlah misalnya Masjid Aqsho, yang namanya bahkan tercantum dalam Al Qur’an, dan abang percaya bahwa jauh sebelum orang-orang itu menyerang masjid nan mulia itu, mereka sudah tau bahwa akan ada reaksi yang hebat dari orang orang Islam.

Kita sepakat bahwa kebesaran Tuhan tidak akan menjadi kecil saat Al Aqsho hangus, atau bahkan sekalipun seluruh masjid di dunia ini hancur lebur, akan tetapi ini tentang kita, bukan tentang Tuhan. Orang-orang itu bukan sedang membela Tuhan, mereka hadir karena Fitrahnya tak bisa diam melihat penindasan yang barangkali itu bagian dari implementasi Mengesakan Tuhan YME.

Tidak boleh kemudian kita memisahkan antara Kemanusiaan dan Agama, seakan akan keduanya terpisah. Bagi abang justru banyak kemanusiaan yang bahkan itu di dorong oleh dogma agama, pun sebaliknya.” Saya berhenti sampai di sana. Dia tersenyum, dan berkata, bolehkah aku bertanya lagi bang? Apa yang harus kita lakukan sekarang?

Langit kan doamu, ambil posisi di mana kau berpihak, Semut yang membawa setetes air saat nabi Ibrahim dibakar itu tau bahwa airnya tak akan mampu memadamkan api tersebut, ia hanya ingin Tuhan tau bahwa ia berada di posisi yang menurutnya itu adalah kebenaran.

Selesailah diskusi bersama anak itu, saya merasa telah berbagi rasa bersamanya. Terima Kasih.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami

Sibiren.com lahir dari jalanan, rahim kandung peradaban, tanpa beraffiliasi ke organisasi manapun, Kami berkomitmen menjaga independensi dalam setiap gerakan.

Merawat budaya, Menghidupkan tradisi ilmiah dan Mengutamakan kemanusiaan adalah kunci utama dalam membangun jembatan menuju Peradaban Indonesia yang Futurusitik. Inilah jalan kami ikhtiarkan.  Inilah jembatan kecil yang kami sebut Care For Humanity, Hone Intellectuality, Strengthen Spirituality

Sibiren.com dengan semangat ingin menyuguhkan ide yang beragam dalam Indonesia kita. Solidaritas, Intelektualitas dan Spiritualitas adalah 3 hal utama yang menjadi fokus kita untuk di perkuat di Bumi Nusantara sebagai Ikhtiar menuju Bangsa yang memiliki Peradaban Maju.