Ahad Pagi, kami bertolak ke Jombang dari pacet. Sawah dan ladang membentang luas di sepanjang jalan, hamparan hijau itu di belah sungai nan jernih, gunung berlapis-lapis bak kuali mengelilingi. Pagi itu, Mojokerto emang pandai menunjukkan pesonanya. Berulang-ulang, saya bersama kawan-kawan bercerita soal betapa terkesimanya kami.
Sayup-sayup suara khataman saling bersaut dari langgar-langgar yang berdekatan. Anak-anak baru pulang ngaji, sesekali terlihat rombongan kawan-kawan non muslim ke gereja dengan pakaian rapi, menunaikan rindu kepada Tuhannya.
Kakek yang membersamai sapi-sapi nya, beberapa orang juga terlihat sibuk lalu lalang dengan pakaian tradisional membawa “hantaran” dalam acara nikah.
Mojokerto menumbuhkan rasa yang tak biasa pagi itu. Saya serasa dibawa pulang ke kampung halaman yang tidak saya injak selama dua tahun lebih. Menyaksikan seorang ibu menyuapi anaknya di teras rumah, kemudian tetangga yang lain datang, maka “rasan-rasan” pun tak terelekkan.
Gapura-gapura khas kerajaan hampir ada di setiap gang, berbagai macam candi terbuka di sepanjang jalan. Kami merasakan seakan akan di atas kuda, melintas gerbang kerajaan majapahit yang di sambut prajurit yang akan bertemu raja pagi ini, heuw.
Di Pendopo Agung Trowulan dan Makam Syaikh Sayyid Jumadil Kubro kami sempat singgah. Menciumi artefak, napak tilas dimana Sumpah Palapa di kumandangkan dulu. Duduk sejenak di Makam, merasakan nikmatnya kesunyian, tanpa meminta kaya, jodoh, apalagi nomor, hehe.
Entah saya merindukan apa, tapi belum sampai Jombang, saya amat merasakan kenikmatan yang susah dideskripsikan.
Menunaikan Rindu ke Jombang
Perjalanan ini sebenarnya tanpa rencana. Justru @paiffamily20 mengagendakan untuk ke Jombang akhir desember, namun gagal karena beberapa hal. Perjalanan ini adalah tentang cinta seorang Sahabat, Nur Muhammad Ikhlasul Amal ( @cak__nur__ )namanya.
Tiba-tiba sepucuk kabar penting dari Palembang datang, pesan itu datang dari kekasihnya. Perempuan yang biasanya hanya ia lihat di Hp itu mengabari akan ke Jombang, menemani Gus-nya. Kabar ini tentu bak nasi hangat ysng terhidang di hadapan perut kosong, yang hanya menunggu detik, akan langsung di lahap enak. Saat kabar itu datang, langsunglah ia minta di temani ke Jombang.
Saya benar-benar menyaksikan cinta-nya seorang Ahmad, menyalip di antara derasnya hujan, harus sampai di Jombang pagi, dan terlihat “gopoh” yang menunjukkan semangat. Iya, Perjalanan ini adalah tentang Sepasang kekasih yang sedang menunaikan rindunya.
Ternyata, lagi lagi tidak hanya ahmad yang menunaikan rindu. Saya dan kawan-kawan juga.
Azan Maghrib berkumandang, jombang menyambut dengan cara yang indah. Santri-santri keluar, bergegas menuju masjid pondok mereka, aura pesantren sangat terasa di tanah dimana NU di lahirkan ini.
Sebagai orang yang pernah mondok, saya merasakan kenikmatan menyaksikan anak-anak, remaja yang meninggalkan dunianya demi belajar agama, tidak mudah, tidak instan. Siang hingga malam menghafal alfiyah, dsb.
Jika di beberapa tempat, orang malu sarungan, maka di Jombang, saya merasa insecure ketika celana-an.
Sebelum pulang, kita ziarah sejenak ke Makam Gus Dur. Duduk dan diam, mendengarkan suara hati di kawasan terbaringnya seorang pejuang kemanusiaan.
Kami juga Menunaikan Rindu.
(Penulis : Awaluddin Gelandangan)