Cendekiawan Muslim di Atas Angin
Share on facebook
Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Cendekiawan Muslim di Atas Angin

Cak Nur/Dok. Dwiki

Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Islam terbesar di dunia, tidak dapat dipungkiri bawah peranan cendekiawan muslim sangat besar. Masing-masing zaman selalu memiliki tokoh dan setiap tokoh selalu memiliki zamannya.

 

Cendekiawan atau dalam bahasa AL Qur’an Ulama’ merupakan pewaris daripada Nabi. Dalam arti kata Ulama atau Cendekiawan mesti menjadi petunjuk di tengah masyarakat, guna menjelaskan ajaran-ajaran Tuhan.

Dari masa ke masa, Indonesia selalu memiliki figur yang tetap hangat untuk diperbincangkan. Mereka biasanya memiliki pengikut yang banyak lagi militan, setia menjaga pemikiran-pemikiran yang di ikuti itu.

Di Indonesia biasanya seorang Cendekiawan itu di ikuti karena ada kesamaan yang fundamental. Seorang Nahdliyiin biasanya mengidolakan Kyai NU. Begitu pula Warga Muhammadiyah yang mengidolakan tokoh tokohnya, dan biasanya pula seorang Tokoh memiliki ormas tempat bernaung dan tempat lahirnya tokoh-tokoh itu.

Anda bisa melihat Gus Dur, yang kalau dalam bahasa guyon hak kepemilikannya adalah kepunyaan warga NU. Begitu pula dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, Perti, Masyumi dulu, dst.

Namun inilah yang menarik dari diri seorang Cak Nur, pemikiran pemikirannya tak membatasi orang dari organisasi apa. Gagasan gagasannya soal pentingnya sikap terbuka, membuat ide-idenya dirawat oleh berbagai kalangan yang berbeda latar belakang organisasi keagamaan.

Jika Anda sering mengikuti kajian-kajian yang di adakan Nurcholish Madjid Society, maka Anda akan menemukan pembicara-pembicara dahsyat dengan latar belakang ormas Islam yang berbeda. Sesekali Anda akan menyaksikan cendekiawan dari NU, kadang dari Muhammadiyah, kadang juga tak punya embel-embel apa pun, hehe.

Sudah banyak sekali tulisan yang mengulas sosok Cak Nur. Mulai dari biografi hingga pemikirannya. Itulah Cak Nur, sosok cendikiawan di atas angin. Ia di atas angin, tak di atas salah satu ormas mana pun. Tapi di atas angin, dirawat dan dijaga oleh berbagai ormas.

Membaca Kembali Gagasan Cak Nur

Tulisan ini adalah serial terakhir dari wejangan istimewa yang saya post di kompasiana spesial Haul Cak Nur ke-16. Semula saya bingung menentukan judul tulisan ini, hehe. Tapi, bagi saya konsep soal pembaharuan yang ditawarkan oleh Nurcholish Madjid sangat menarik untuk di baca kembali.

Kenapa menjadi menarik?

Melihat kondisi umat hari ini, rasanya memiliki sikap skeptisisme terhadap agama, ada banyak kekecewaan yang timbul dalam memandang wajah agama hari ini. Hal itu tidak terlepas dari bagaimana kita kehilangan Cendekiawan Muslim yang memang mampu menjadi jawaban solutif di tengah kegalauan umat hari ini.

 

Salah satu yang paling menonjol yang ditunjukkan oleh tokoh agama hari ini adalah sikap konservatif, sikap tertutup, yang merasa benar sendiri, sehingga mengakibatkan umat bingung harus ke mana.

Bagi saya setidaknya ada tiga gagasan penting dari Cak Nur:

 

  1. Sekularisasi dan Modernisasi

Sekularisasi bukanlah sekularisme yang dimaksudkan barat sebagai sebuah aliran pemisahan. Namun Cak Nur memiliki arti tersendiri yaitu Menduniawikan hal-hal yang bersifat dunia, dan Mengukhrawikan apa saja yang bersifat Akhirat. Pasalnya, setealah kita berikrar bahwa Tuhan itu adalah kebenaran Mutlaq, maka yang lainnya bersifat Nisbi. Maka agama tidak boleh diseret seret dalam berbagai kepentingan.

Sementara itu, Modernisasi bagi Cak Nur bukanlah Westernisasi. Menjadi modern tidak mesti mengikuti budaya barat. Tapi, bagaimana kita menjadikan agama sebagai sebuah peradaban yang memiliki konsep yang madani terhadap kehidupan. Cak Nur juga berpendapat bahwa kita mesti meninggalkan segala bentuk pendewaan terhadap makhluk, sebab itu akan menghambat peradaban.

  1. Kebebasan Berpendapat

Bagi Cak Nur, kebebasan berpendapat itu mesti harus dijaga. Bukan tanpa alasan, ia mengatakan bahwa sekalipun yang diagungkan itu adalah sesuatu yang salah, maka itulah saatnya kebenaran meneguhkan dirinya, apalagi itu tentu sesuatu yang benar.

Bersamaan dengan itu, Kebebasan berpendapat memberikan potensi bagi kita untuk saling menghormati, menjaga kewarasan dan keberagaman.

  1. Kalimatun Sawa’ dan Kemanusiaan}

Dalam banyak kesempatan, Cak Nur selalu berupaya mencari kalimatun sawa’ atau titik temu dalam berbagai perbedaan antar agama agama. Bahkan dalam konteks yang lebih dalam ia mengartikan bahwa kita semua ini adalah satu saudara dan Islam, dengan syarat memiliki sifat kehanifan (condong pada kebenaran) serta berislam (sikap berserah diri)

Hal itu tentu memiliki konsekuensi logis dan tujuan. Maka yang diinginkan  Cak Nur adalah bagaimana saudara se kemanusiaan tetap dijunjung tinggi sebagai pengejawantahan nilai teologis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami

Sibiren.com lahir dari jalanan, rahim kandung peradaban, tanpa beraffiliasi ke organisasi manapun, Kami berkomitmen menjaga independensi dalam setiap gerakan.

Merawat budaya, Menghidupkan tradisi ilmiah dan Mengutamakan kemanusiaan adalah kunci utama dalam membangun jembatan menuju Peradaban Indonesia yang Futurusitik. Inilah jalan kami ikhtiarkan.  Inilah jembatan kecil yang kami sebut Care For Humanity, Hone Intellectuality, Strengthen Spirituality

Sibiren.com dengan semangat ingin menyuguhkan ide yang beragam dalam Indonesia kita. Solidaritas, Intelektualitas dan Spiritualitas adalah 3 hal utama yang menjadi fokus kita untuk di perkuat di Bumi Nusantara sebagai Ikhtiar menuju Bangsa yang memiliki Peradaban Maju.