Benarkah agama dan Ilmu Pengetahuan Tak Dapat Berdampingan?
Sebenarnya adakah relasi agama dan ilmu pengetahuan? Apakah agama dan ilmu pengetahuan dapat berjalan beriringan? Apakah agama dan ilmu pengetahuan dapat saling menopang menjadi pilar-pilar membangun peradaban? Manakah dari kedua kekuatan ini yang berkontribusi besar dalam membangun peradaban keilmuan dan teknologi? Apakah agama menjadikan manusia semakin bodoh dan harus berpaling pada Ilmu Pengetahuan saja? Atau justru hanya dengan mengandalkan Ilmu Pengetahuan menyebabkan manusia tergelincir? Sampai kapan terjadi dikotomi antara agama dan Ilmu Pengetahuan?
Agaknya inilah pertanyaan² yang sering kali menjadi keresahan umat beragama, apalagi ketika keyakinan terguncang oleh berbagai gempuran ideologi-ideologi dan pemikiran² tokoh tak berhaluan teologis yang masih sering dikonsumsi kaum intelektual.
Kiranya kita perlu kembali memikirkan dan merenungkan apa yang dikatakan Kitab suci sebagai manual book, dasar, sandaran dan landasan berpikir umat beragama dalam hal ini mungkinkah manusia berpengetahuan, dan boleh atau tidakkah berpengetahuan?
Kita tahu kisah Nabi Adam As terdapat dalam kitab Taurat (Perjanjian Lama) dan kitab Al-Qur’an. Adam dibebaskan memakan segala yang ada di surga, kecuali satu buah dari suatu pohon yang dalam hal ini terdapat perbedaan dalam kedua Kitab Suci tersebut. Dalam PL, Adam dilarang memakan buah pohon Pengetahuan karena Allah tidak ingin Adam memperoleh dua kesempurnaan, yaitu kesempurnaan Pengetahuan, dan Kekekalan di Surga. Sebelumnya mata Adam As dalam keadaan tertutup, lalu matanya terbuka setelah memakan buah pohon Pengetahuan dan ia mengetahui berbagai hal, yang baik maupun buruk. Selanjutnya, karena pengetahuan yang dimilikinya, Adam ingin memperoleh kekekalan di Surga. Sehingga jelas terdapat kontradiksi antara agama dan Pengetahuan. Adam mesti konsisten dalam beragama, tetapi matanya dalam keadaan tertutup. Atau, matanya dalam keadaan terbuka dan mengetahui segala hal, namun ia harus memberontak pada perintah Tuhan.
Hal ini menyebabkan lahirnya arus pemikiran kuat terjadinya dikotomi antara agama dan pengetahuan. Faktor penyelewengan Kitab Suci oleh para pemegang otoritas pranata keagamaan (Ulama) Yahudi yang didorong oleh hasrat memperoleh otoritas mutlak dan supremasi atas umat ditempuh melalui cara “mematikan nalar kritis manusia”, dan cara yang paling efektif dan efisien adalah melalui doktrin agama, dengan cara memanipulasinya. Umat dituntut tidak banyak bertanya, tidak boleh kritis dan harus tunduk dan patuh atas perintah dan pandangan ulamanya, meskipun kita tahu pandangan setiap individu tidak selalu benar.
Hal ini menyebabkan otoritas keagamaan masuk dalam berbagai lini kehidupan manusia seperti menimpa peradaban barat dan menenggelamkannya ke dalam “era kegelapan / dark ages”. Segala penemuan ilmiah dianggap bidah dan penemunya ditangkap, dihukum, dibunuh dan dipenjara. Para ulama itu khawatir, jika Ilmu Pengetahuan (Science) mendominasi, maka umat akan kehilangan kepercayaan pada otoritas keagamaan dan berpaling pada ilmuwan. Science lebih dipercaya daripada agama itu sendiri.
Hal ini tentu berbeda jika dibandingkan dengan Alquran di mana tidak terdapat pembicaraan semacam itu. Allah telah membekali Adam dengan “akal sehat” nya sebagai alat untuk memahami segala sesuatu dan Tuhan menguji alat tersebut dengan mengajarkannya berbagai hakikat. Dia adalah manusia, matanya terbuka. Bukan binatang yang matanya tertutup dan karena memakan pohon pengetahuan menyebabkan matanya terbuka. Sebelum Allah mengusir Adam dari surga, Adam telah diajarkan berbagai hakikat yang menyebabkan malaikat tunduk di hadapannya. Bahkan menyebabkan iblis merasa iri dengki padanya.
Tidak mengherankan jika abad pencerahan Eropa (Renaisans) berangkat dari pemberontakannya terhadap agama. Sedangkan Peradaban timur justru membangun peradabannya dari semangat religius hal ini dibuktikan dari fakta historis terjadinya ekspansi berskala besar bangsa Arab dan proses penerjemahan buku2 Yunani ke dalam bahasa Arab dan dibangunkannya “Baitul Hikmah” oleh Khalifah Harun Ar Rasyid.
Seperti perkataan Imam Ja’far Shadiq ketika beliau di atas kulit binatang, ia menunjuk ke tanah dan berkata, “Bahkan Adam As mengetahui apa saja yang ada di bawah telapak kaki saya”. Sedemikian luasnya pengetahuan yang dimiliki oleh Nabi Adam AS. Sebagai anak cucu Nabi Adam AS, manusia adalah anak pengetahuan. Anak pengetahuan yang memiliki potensi memperoleh pengetahuan yang tak terbatas.
Namun kegelisahan yang kembali menyelimuti umat Islam abad ke21 ini. Mengapa kondisi ini menjadi terbalik? Mengapa umat Islam seakan2 tak memiliki kontribusi apa pun dalam peradaban dunia, seakan2 seperti singa yang tertidur. Agaknya hal inilah yang perlu kita cari bersama, kita pikirkan dan renungkan. Apakah persoalan fundamental yang dialami Eropa Barat pada masa Dark Ages kini dialami umat Islam masa kini tanpa kita sadari? Benarkah kita telah disibukkan dengan kesibukan2 atas sesuatu yang abstrak dan tak bersentuhan dengan realitas? Benarkah dari dinamika global itu menyebabkan kita lupa dan jauh dari elan vital Islam?
Inilah PR kita bersama.