Ushul Fiqh, Bagaimana Kabarmu Kini?
Share on facebook
Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp
iqra.id

Ushul Fiqh, Bagaimana Kabarmu Kini?

Oleh: Moch Yusuf

Al-Qur’an merupakan titah Tuhan yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Al-Qur’an juga diyakini bahwa ia merupakan salah satu bukti mu’jizat yang dimiliki oleh nabi Muhammad SAW yang sampai sekarang bisa kita saksikan. Keautentikan lafadznya juga membuktikan kemu’jizatannya dan benar-benar bisa dirasakan sehingga membuat para pakar bahkan nonmuslim pun tiada henti untuk berusaha menyingkap makna yang ingin disampaikan oleh ayat-ayat al-Qur’an. Sementara ulama melukiskan al-Qur’an itu sebagai:

لاَتَنْقَضِي عَجَائِبُهُ وَلَا يَخْلُقُ بِكَثْرَةِ الرَّدِّ

“Kitab yang tidak habis kejaibannya dan juga tidak usang dengan seringnya dirujuk”

Kita tahu al-Qur’an itu memiliki beragam aspek kemu’jizatan, diantaranya bisa dilihat dari segi bahasanya, balaghohnya, keteraturan teks-teksnya, ilmiahnya, logikanya, dan lain sebagainya. Beragam corak penafsiran al-Qur’an tidak terlepas dari siapa pengkajinya. Biasanya tafsir yang cenderung menjelaskan sisi kebahasaannya kemungkinan pangkajinya memiliki keahlian dalam bidang kebahasaan. Tafsir yang cenderung membahas sisi keilmiahan al-Qur’an bisa dipastikan pengkajinya ahli dalam bidang tersebut. Begitu juga ketika tafsir itu lebih dominan mengungkapkan sisi hukumnya, tidak dapat dipungkiri yang menafsirkannya itu orang yang memiliki kapasitas dalam bidang hukum.

Al-qur’an, kaitannya dengan hukum islam menempati posisi pertama sebagai sumber utama yang menjadi rujukan. Namun, dalam memahaminya sebagai rujukan dalam menentukan hukum agaknya bisa menimbulkan kesalahpahaman terhadap sebagian orang atau kelompok. Ada kelompok yang memahami al-Qur’an -yang kapasitasnya sebagai sumber hukum islam- bisa dipahami maknanya secara gamblang atau tekstualis dengan cara cukup melihat terjemahan tanpa harus mengikuti kaidah-kaidah yang sudah ada sehingga yang mereka pahami bisa menimbulkan kekeliruan dalam menggali (istinbath) hukum. Di satu sisi juga ada sebagian kelompok yang beranggapan bahwa pintu ijtihad untuk menggali (istinbath) hukum  dalam alQur’an sudah tertutup rapat sehingga mereka enggan menggali (istinbath) hukum dalam al-Qur’an. Tidak cukup disitu mereka juga cenderung lebih mengutamakan pendapat-pendapat para imam madzhab.

Untuk kelompok pertama bisa jadi mereka tidak tahu atau memang melupakan bahwa ulama telah merancang kaidah-kaidah atau aturan-aturan dalam memahami al-Qur’an. Sementara untuk kelompok yang kedua mereka hanya terjebak dalam stigma yang salah. Sementara ulama menegaskan bahwa bagaimana ijtihad itu sudah tertutup sedangkan masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai masalahnya. Mungkin benar apa yang di ungkapkan oleh sebagian ulama:

لِاَنَّ النُّصُوْصَ مَحْدُوْدَةٌ وَلَكِنَّ الْحَوَادِثَ وَالنَّوَازِلَ غَيْرُالْمَحْدُوْدَةٌ أَوْلِأَنَّ النُّصُوْصَ تَتَنَاهَى وَلَكِنَّ الْحَوَادِثَ وَالنَّوَازِلَ لَا تَتَنَاهَى

“Sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang timbul tidaklah terbatas atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti”. Dari sini dapat dipahami bahwa menutup pintu ijtihad akan meniscayakan kenyataan yang ada.

Sebenarnya ulama klasik telah memberikan solusi mengenai hal ini yang kemudian lahirlah suatu fan keilmuan yang disebut sebagai ilmu ushul fiqh. Dari sejarahnya, perkembangan ilmu ushul fiqih justru semakin pesat dengan melihat puluhan bahkan ratusan kitab tentang ushul fiqh yang telah disusun oleh ulama. Akan tetapi, dengan banyaknya kitab yang telah ditulis tidak dengan sendirinya mempermudah kerja-kerja ijtihad bagi generasi selanjutnya.

Hal ini disebabkan diantaranya: pertama, keyakinan bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan tidak akan pernah terbuka lagi. Kedua, mendarah dagingnya stigma bahwa pendapat para imam madzhab itu sebagai satu-satunya solusi yang bisa menjawab segala persoalan. Ketiga, kebingungan dalam mengaplikasikan ushul fiqh. Kebingungan semacam ini sebenarnya layak muncul bagi orang yang menggeluti disiplin ilmu ini. Namun hal ini seyogyanya tidak harus menjadi polemik tersendiri demi menjaga kita supaya tidak terjadi kesalahan ketika menggali (istinbath) hukum dari al-Qur’an.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami

Sibiren.com lahir dari jalanan, rahim kandung peradaban, tanpa beraffiliasi ke organisasi manapun, Kami berkomitmen menjaga independensi dalam setiap gerakan.

Merawat budaya, Menghidupkan tradisi ilmiah dan Mengutamakan kemanusiaan adalah kunci utama dalam membangun jembatan menuju Peradaban Indonesia yang Futurusitik. Inilah jalan kami ikhtiarkan.  Inilah jembatan kecil yang kami sebut Care For Humanity, Hone Intellectuality, Strengthen Spirituality

Sibiren.com dengan semangat ingin menyuguhkan ide yang beragam dalam Indonesia kita. Solidaritas, Intelektualitas dan Spiritualitas adalah 3 hal utama yang menjadi fokus kita untuk di perkuat di Bumi Nusantara sebagai Ikhtiar menuju Bangsa yang memiliki Peradaban Maju.