Sepanjang sejarah pembaharuan di belahan dunia, beberapa bangsa memiliki tokoh besar yang berpengaruh dalam pembaharuan pemikirannya. Kita mengenal tokoh besar pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh dari Mesir, atau Muhammad Iqbal di Pakistan, dimana pemikiran keduanya sering menjadi kiblat rujukan Islam, bahkan dunia.
Indonesia juga tidak ketinggalan. Di Jombang, tepatnya di desa Mojotengah, Kecamatan Bareng, Lahirlah laki laki dari pasangan H. Abdul Madjid dan Bu Fathonah yang kelak berpengaruh besar dalam pentas sejarah bangsa ini. Lelaki itu awalnya diberi nama “Abdul Malik”, karena dalam tradisi jawa ada yang disebut dengan “kabotan jeneng” (keberatan nama), maka nama lelaki itu kemudian diganti menjadi Nurcholish Madjid. Iya, kali ini kita akan mengulas sosok Caknur.
16 tahun yang lalu, 29 Agustus 2005, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A. atau yang akrab disapa dengan Caknur itu meninggalkan kita semua. Perjalan panjang yang ia tempuh dalam berbagai tantangan selesai pada hari itu. Namanya sering muncul di surat kabar mengenai pemikirannya, tapi tak jarang juga caci makian yang bahkan tak termakan oleh ayam di lontarkan kepadanya.
“Nurcholish Madjid adalah tokoh sekuler, liberal, antek asing, zionis yahudi” kira kira begitu sebagian tuduhan yang sering di arahklan banyak orang kepadanya, bahkan tak hanya datang dari orang orang yang belum mengenalnya. Ada juga tuduhan itu yang berasal dari orang yang mengenal Caknur. Inilah Caknur, guru bangsa pembaharu Islam nan kontroversial.
Jika Desember adalah bulannya Gusdur, maka saya sebut saja bahwa Agustus adalah Bulannya Caknur. Bulan yang menjadi duka bagi banyak orang di tahun 2005, pemikir dan pembaharu nan merdeka itu pergi menutup mata. Tapi tidak dengan pikiran pikirannya. Pemikirannya tetap hidup sampai hari ini, dikaji dimana mana, didiskusikan, buku buku yang pernah ia tulis masih diterbitkan, dicetak, dijual, dibeli, dan dinikmati banyak orang.
Lebih lanjut, pemikiran yang terus diperbincangkan itu selalu hangat di berbagai kalangan, maka jangan heran jika ia dicintai oleh berbagai kelompok yang disaaat bersamaan antara antara kelompok kelompok itu bahkan semacam ada sentimen primordial. Tapi, jangan juga dilupakan ia tak hanya mendapatkan kritik dari satu arah atau satu kelompok saja, melainkan dari berbagai arah, mulai dari Islam yang paling “fundamentalis” hingga yang “liberalis.”
“Nurcholish Madjid adalah tokoh sekuler, liberal, antek asing, zionis yahudi” kira kira begitu sebagian tuduhan yang sering di arahklan banyak orang kepadanya, bahkan tak hanya datang dari orang orang yang belum mengenalnya. Ada juga tuduhan itu yang berasal dari orang yang mengenal Caknur. Inilah Caknur, guru bangsa pembaharu Islam nan kontroversial.
Jika Desember adalah bulannya Gusdur, maka saya sebut saja bahwa Agustus adalah Bulannya Caknur. Bulan yang menjadi duka bagi banyak orang di tahun 2005, pemikir dan pembaharu nan merdeka itu pergi menutup mata. Tapi tidak dengan pikiran pikirannya. Pemikirannya tetap hidup sampai hari ini, dikaji dimana mana, didiskusikan, buku buku yang pernah ia tulis masih diterbitkan, dicetak, dijual, dibeli, dan dinikmati banyak orang.
Lebih lanjut, pemikiran yang terus diperbincangkan itu selalu hangat di berbagai kalangan, maka jangan heran jika ia dicintai oleh berbagai kelompok yang disaaat bersamaan antara antara kelompok kelompok itu bahkan semacam ada sentimen primordial. Tapi, jangan juga dilupakan ia tak hanya mendapatkan kritik dari satu arah atau satu kelompok saja, melainkan dari berbagai arah, mulai dari Islam yang paling “fundamentalis” hingga yang “liberalis.”
Di antara gagasan gagasannya yang paling menonjol adalah soal meletakkan Islam sebagai kualitas bukan pada kuantitas, Islam Kultur bukan Islam politik, Caknur kerap membahasakannya dengan “Integrasi Umat” atau sering disebut sebagai sekulerisasi Islam yang kemudian memicu kontroversial. Tak hanya sampai disitu, ia juga sering memapakarkan pentingnya kebebasan berpendapat, Kemerdekaan Berpikir.
16 tahun telah berlalu kepergian guru bangsa itu, tapi pemikiran pemikirannya tetap menyala sampai hari ini. Inilah salah satu tanda kebaikan Caknur, dimana sebagaimana yang sering disampaikan banyak orang bahwa setelah meninggal barulah kita tahu tentang seseorang itu.
Sebagai orang pesantren yang tradisionalis, penulis tentunya memiliki kebiasaan mengikuti Haul dan semacamnya. Oleh karenanya, di bulan agustus ini, sebisa mungkin saya akan menyempatkan menulis berbagai wejangan istimewa (setidaknya bagi saya) tentang caknur, sebagai bagian dari ekspresi memperingati haul Caknur ke-16 di 2021.
(Penulis : Awaluddin Gelandangan)