Tukang Sampah dan Agamawan di antara Isu Lingkungan Hidup
Share on facebook
Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Tukang Sampah dan Agamawan di antara Isu Lingkungan Hidup

mifner/pixabay.com

Di tengah sesaknya kerumunan pasar tradisional, pernah suatu ketika seorang anak menarik-narik baju Ibunya sambil menunjuk baju bergambar Spiderman, minta dibelikan. Hal sederhana tersebut menggambarkan betapa anak itu sangat menyukai super hero yang ia saksikan di layar kaca. Saya juga pernah mengalami hal yang sama dulu, saat kecil saya memaksa Ibu untuk membelikan sayur bayam yang kemasannya juga harus persis sama seperti yang dipakai oleh Popaye si Pelaut, hanya karena ingin tiba-tiba punya kekuatan dahsyat dan melakukan banyak hal.

Dalam banyak film, super hero selalu tampil gagah dan perkasa, ia datang sebagai penyelamat, melindungi kaum tertindas dan pastinya membela kebenaran. Karakter pahlawan ini tentu sangat disukai, dinikmati dan membekas di ingatan anak-anak. Jika mereka diajukan pertanyaan tentang siapa idolanya, tidak sedikit di antara anak-anak itu yang mengidolakan super hero di film yang mereka tonton.

Sedari kecil, sadar atau tidak kita di kenalkan dengan profesi-profesi yang kelihatan keren dan tampil bak super hero. Seperti dinding-dinding sekolah yang dihiasi wajah para pejuang kemerdekaan, media sosial yang dipenuhi pengusaha kaya raya, super hero itu juga terlihat di banyak gelanggang olahraga, olahragawan yang berhasil menaikkan sang saka dalam kemenangannya.

Hal-hal seperti tadi telah membentuk stigma masyarakat bahwa kata sukses hanya melekat kepada profesi tertentu,  konsekuensi yang harus kita terima adalah beberapa profesi lain dianggap tak penting, murahan, dan tentunya jauh dari kata super hero. Salah satunya adalah tukang sampah.  Jika ditanya, adakah anak-anak yang mau bercita-cita menjadi tukang sampah? atau adakah ayah yang mau jika anaknya berprofesi sebagai tukang sampah?

Beberapa waktu yang lalu, saya ditampar oleh sebuah video yang memperlihatkan jawaban seorang anak di Jerman ketika ditanya tentang cita-citanya, ia tidak menjawab ingin menjadi aparatur negara yang menjaga kedamaian, atau pilot yang terlihat keren. Ia justru ingin menjadi pemadam kebakaran dengan alasan bisa membantu orang dan tentunya gagah karena terlihat seperti super hero.

Mungkinkah anak Indonesia bercita-cita menjadi tukang sampah dengan alasan penyelamat lingkungan? Atau jangan-jangan mayoritas ingin seperti Bonge yang berlenggak-lenggok di Citayam Fashion Week?

Cuaca mendung agak gelap terlihat di sebuah kota, seorang tukang sampah dengan baju lusuh, sedikit sobek dan dibasahi keringat berhenti di depan gedung. Tanpa tukang sampah itu, hujan yang sebentar lagi akan turun akan menjadi bencana. Aktivis lingkungan boleh saja berdebat tentang lingkungan hidup setinggi langit. Namun, Tukang sampah itu tanpa panjang lebar, setiap hari turun ke lapangan, berbaur dengan busuknya sampah, berusaha semaksimal mungkin untuk menghadirkan kebersihan di tengah kota. Ironinya mereka masih di anggap sebagai profesi rendahan dengan gaji pas-pasan, bahkan di beberapa daerah gajinya jauh di bawah rata-rata.

22 April lalu, Elon Musk membuat sayembara bagi siapa pun yang mempunyai mis untuk menyelamatkan bumi. Musk menjanjikan hadiah senilai 100 Juta Dollar AS bagi siapa pun yang mampu menemukan cara-cara menghilangkan emisi karbon dari muka bumi. Tidak hanya itu, wacana soal rumah baru di mars bukanlah berita baru yang kita dengar yang seakan-akan mengamini bahwa sejuta cara akan di lakukan untuk menylamatkan umat manusia dari ancaman pemanasan global yang membuat bumi semakin tidak layak di huni.

Namun, pedulikah tukang sampah dengan berita teersebut? Sayangnya seiring dengan perkembangan itu, umat manusia juga di hantui oleh berbagai macam ketidakpastian soal lingkungan hidup, salah satu isu yang hangat dan selalu dibahas belakangan ini adalah soal global warming atau pemanasan global. Dalam bahasa yang sederhana kita simpulkan bahwa bumi semakin panas.

Lalu, apa semestinya yang bisa kita lakukan?

Saya akan memulai ini melalui sebuah data yang menunjukkan bahwa agama masih melekat dalam pribadi orang Indonesia. Majalah CEOWORLD merilis negara paling religius di dunia. Dalam laporannya pada tahun 2021 itu Indonesia berada di posisi ke 7. Pancasila telah membentuk masyarakat menjadi religius. Dalam sila pertama saja Pancasila sudah menekankan aspek ketuhanan. Selain karena kultur, mungkin inilah salah satu alasan kenapa suara ahli agama di Nusantara ini bak berlian yang amat mahal harganya, sehingga apa pun yang di lontarkan Agamawan, akan di ikuti banyak orang.

Oleh karena itu, peranan Agamawan menjadi penting untuk menyuarakan pentingnya menjaga alam ini, merawat lingkungan hidup, sangat sedikit sekali para pendakwah yang berbicara soal isu ini, padahal krisis ini ada di depan mata kita. Jika direfleksikan ke lingkungan sekitar, kapan terakhir kali kita mendengarkan ceramah pemuka agama soal lingkungan hidup?

Saya membayangkan, dari masjid ke masjid, Ulama-ulama itu membahas isu lingkungan hidup, dari gereja-gereja, para pendeta menyuarakan betapa tidak bolehnya kita merusak alam, begitu pula dari rumah ibadah lainnya yang juga akan bernada sama. Sebagaimana tukang sampah yang tak pernah naik podium dakwah, dipuja puji banyak netizen dengan tagar yang beragama, tapi hari-harinya bergerak menjaga lingkungan hidup secara langsung.

Pembicaraan “soal surga dan neraka saja” berabad-abad lalu telah selesai dibahas dan barangkali umat sudah mengetahui itu. Hal yang paling saya takutkan barangkali adalah saat umat rebutan perihal surga yang amat jauh itu, tapi ia melupakan surga di depannya yang itu juga adalah anugerah Tuhan pada kita.

Al-A’raf ayat 85 merupakan bukti bahwa Islam memiliki komitmen untuk menjaga bumi atau tidakkah cukup tukang sampah di sekeliling, kita jadikan teladan yang tak bertepi untuk merawat lingkungan hidup ini. Beragama bukan hanya soal surga dan neraka, beragama tak hanya tentang duduk lama di atas sajadah, sifat keterbukaan untuk menjaga lingkungan hidup adalah bagian dari cara beragama yang baik.

Jika kembali pada cita-cita anak-anak yang saya ceritakan tadi, tukang sampah sesungguhnya telah menjadi super hero lingkungan hidup yang nyata. Bahkan agamawan dengan segala kekuatan yang ia memiliki masih kalah jauh soal aksi nyata menjaga lingkungan hidup. Di masa depan kita akan menganggap profesi ini sama dengan profesi lainnya, tukang sampah itu pahlawan, mereka gagah dan keren, merekalah Super Hero sesungguhnya.

Namun isu mengenai menjaga lingkungan hidup ini akan menjadi lebih efisien bilamana banyak Agamawan yang turun gunung, umat ini akan kita bersatu, bahu membahu dalam menjaga lingkungan kita ini. Sekeping surga yang dijatuhkan Tuhan ke muka bumi ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami

Sibiren.com lahir dari jalanan, rahim kandung peradaban, tanpa beraffiliasi ke organisasi manapun, Kami berkomitmen menjaga independensi dalam setiap gerakan.

Merawat budaya, Menghidupkan tradisi ilmiah dan Mengutamakan kemanusiaan adalah kunci utama dalam membangun jembatan menuju Peradaban Indonesia yang Futurusitik. Inilah jalan kami ikhtiarkan.  Inilah jembatan kecil yang kami sebut Care For Humanity, Hone Intellectuality, Strengthen Spirituality

Sibiren.com dengan semangat ingin menyuguhkan ide yang beragam dalam Indonesia kita. Solidaritas, Intelektualitas dan Spiritualitas adalah 3 hal utama yang menjadi fokus kita untuk di perkuat di Bumi Nusantara sebagai Ikhtiar menuju Bangsa yang memiliki Peradaban Maju.