RIWAYAT HIDUP SINGKAT SIDDHARTA GAUTAMA 
Share on facebook
Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp
(Sumber: Dokumen pribadi)

Oleh: Dzulfiqar Fauzan Nafis

Agama Buddha bermula dari kisah seorang tokoh. Pada akhir hidupnya, ketika seluruh India seakan-akan dikobarkan oleh pesan-pesan yang disampaikannya dan para raja sendiri tunduk kepadanya, semua orang datang kepadanya seperti orang datang kepada Yesus, untuk bertanya siapakah dia sebenarnya?

“Apakah anda seorang dewa?” Tanya mereka. “Tidak”. “Seorang malaikat?” “Tidak” “Seorang Santo?” “Tidak.” Lantas siapa sebenarnya anda ini?

Buddha menjawab. “Aku bangun.” Jawabannya ini kemudian menjadi gelarnya, karena memang itulah arti “Buddha.” Akar kata Sansakerta budha mempunyai arti baik “bangun” maupun “mengetahui”. Dengan demikian kata “Buddha” berarti “Ia Yang Bangun”. Di saat seluruh dunia tertidur lelap sambil terbuai mimpi yang biasanya dikenal sebagai “kehidupan manusia yang sadar”, seseorang yang telah bangun sendiri dari tidurnya. Agama Buddha bermulai dari kisah seorang yang sudah sadar kembali dari keadaan lingkungan, rasa kantuk, dan dari keadaan mimpi seperti kesadaran yang belum lengkap. Ia bermula dengan kisah seorang yang terbangun dari tidurnya.

Kehidupannya telah ditatah menjadi suatu dongengan yang menyenangkan. Dikisahkan menjelang kelahirannya dunia diliputi dengan cahaya terang benderang. Orang-orang buta sedemikian berhasratnya untuk menyaksikan kegemilangannya yang segera tiba, sehingga mereka dapat melihat kembali. Orang tuli dan bisu berbicara dengan amat bersemangat tentang hal-hal yang akan terjadi. Orang cacat menjadi normal, yang lumpuh berjalan. Para tawanan terlepas dari rantai belenggu dan nyala api neraka dipadamkan. Bahkan kekejaman binatang buas menjadi hilang disaat keadamaian tengah meliputi seluruh bumi. Hanya Mara si Jahat, yang tidak bergembira.

Namun siapakah dia yang telah “terbangun” itu? Dialah Siddharta Gautama, putra Raja Suddhodhana dan Ratu Maya. Pasca kelahirannya, sang Raja diperingatkan para brahmana agar menjauhkan sang pangeran menyaksikan empat peristiwa yang pertama orang tua, yang kedua orang sakit, yang ketiga orang mati dan yang keempat seorang pertapa. Ketika pangeran Siddharta menyakiskan keempat peristiwa itu maka ia akan segera meninggalkan istana.

Ilustrasi Pangeran Siddharta Gautama Ketika meninggalkan istana

Ketika sudah memasuki usia remaja sang pangeran telah menampakkan kualitas manusia yang mulia baik itu tingkat intelegensianya, kejujurannya dan kekuatan fisiknya. Kelembutan hati sang pangeran terlihat ketika beliau bermain dengan saudara sepupunya, Devadatta yang ketika itu membawa busur dan panah. Devadattta melihat serombongan belibis hutan terbang di atas mereka. Dengan cekatan Devadatta membidikkan panahnya lalu memanah belibis itu. Pangeran Siddharta segera berlari menuju belibis yang terluka itu sambil menangis tersedu-sedu. Ketika saudaranya memintanya, sang pangeran menolak dan berkata,

“Tidak, belibis ini tidak akan kuberikan padamu. Kalau ia mati, maka ia milikmu. Tetapi sekarang ia tidak mati dan aku menolongnya, maka belibis ini adalah milikku”.

Ketika Pangeran Siddharta berusia enam belas tahun. Raja Suddhodhana mengadakan sayembara untuk mencari wanita yang akan dinikahkan untuk sang pangeran dimana berbagai ilmu peperangan dipertandingkan. Dalam sayembara itu, Pangeran bertanding melawan pangeran-pangeran lain yang datang dari segenap penjuru negeri Sakya. Singkat cerita tiada seorang pun yang dapat mengalahkan pangeran Siddharta dalam pertandingan tersebut yang mengakibatkan berlangsungnya pernikahan beliau dengan putri Yashodara.

Pangeran tidak bahagia dengan cara hidup yang dianggap seperti orang tawanan dan terpisah samasekali dari dunia luar. Hal ini mengakibatkan pangeran keluar sendiri melihat langsung kondisi masyarakat yang kelak akan diperintahnya. Ketika itu Pangeran Siddharta ditemani oleh Channa. Sewaktu pangeran sedang jalan-jalan di kota, dengan tiba-tiba seorang tua keluar dari sebuah gubuk kecil. Rambut orang itu panjang dan sudah putih semua, jalannya bersusah payah serta terbungkuk-bungkuk. Melihat orang seperti ini, Pangeran terkesan sekali karena hal seperti ini baru pertamakali dilihatnya.

“Apakah itu Channa? Itu tidak mungkin seorang manusia. Mengapa ia berjalan terbungkuk-bungkuk? Mengapa kulitnya tidak sepertiku? Mengapa putih… tidak hitam seperti rambutku? Channa menerangkan kepada Pangeran bahwa itulah keadaan seorang tua, tetapi bukan keadaannya sewaktu ia dilahirkan. Demikian hingga tiga peristiwa lainnya disaksikan oleh pangeran Siddharta yang membuat hatinya tersentak. Beliau dirundung kesedihan dan pesimistis bahwa kelak dirinya bahkan putranya, Rahula yang baru lahir, akan menjadi tua, sakit lalu mati. Namun demikian, peristiwa terakhir menginspirasi pribadi beliau yakni ketika melihat seorang “Pertapa”. Meskipun mereka hidup dengan cara yang bersahaja dan minimalis, hanya mengenakan jubah kuning, mencukur rambut, mengajarkan ilmu dan senantiasa membawa mangkuk sedekah, namun tak terlihat samasekali ekspresi kesedihan dan kemurungan yang terlihat dari wajah mereka. Maka pada saat itulah Pangeran Siddharta memutuskan untuk pergi meninggalkan istana di waktu malam. Beliau mencukur rambutnya dan membuang semua perhiasan yang melekat di tubuhnya dan memilih menjadi seorang pertapa.

Berbagai cara dilakukan sang Pangeran demi mendapatkan kualitas diri seperti para pertapa. Bahkan dalam tingkat yang ekstrem sekaligus dengan metode “Penyiksaan diri”. Salah satu kisah yang termasyhur adalah keputusan Siddharta melakukan “Meditasi” selama bertahun-tahun tanpa makan hingga tubuhnya kurus, kering kerontang. Setelah serangkaian metode penyiksaan diri itu telah usai beliau lakukan, barulah beliau sadar bahwa metode itu samasekali tidak ada gunanya dan mengakibatkan beliau melupakan jati dirinya sebagai “manusia”.

Pangeran Siddharta memutuskan untuk berhenti dari metode penyiksaan tersebut. Berangsur-angsur kondisi tubuhnya pulih dan tenaganya bugar kembali. Beliau memutuskan kembali melanjutkan meditasi dengan cara yang lebih ringan di bawah pohon Boddhi. Namun meditasi sang Pangeran tak terlepas dari godaan-godaan duniawi. Tercatat dalam kisah riwayat hidup Buddha, Sang Iblis Mara pernah mendatangi Sang Buddha yang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon Boddhi dengan membawa pasukan besar, Sang Mara mencobai Sang Buddha dari depan, kanan dan kirinya. Dalam suatu kesempatan, Mara yang juga disebut “Dewa Hawa Nafsu” pernah menjelma menjadi seorang wanita cantik yang menari nari di hadapan Sang Buddha, namun tetap saja gagal. Segala usaha dilakukan Sang Mara untuk mempengaruhi Buddha mengalami kegagalan total hingga tiba saatnya beliau memperoleh “Pencerahan” dan menjadi seorang “Buddha”.

Beberapa waktu setelah pangeran Siddharta telah menjadi “Buddha” beliau berpikir untuk “Menyebarkan Dhamma”. Namun karena Dhamma itu dalam sekali dan sulit dimengerti sehingga timbul perasaan enggan dalam diri Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma.

Ilustrasi turunnya Brahma Sahampati dari Brahmaloka. Memohon kepada Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma.

 

Tiba-tiba Brahma Sahampati turun dari langit (Brahmaloka) dan berdiri di hadapan sang Buddha dengan menunjukkan wujudnya yang sebenarnya. Setelah memberi hormat yang layak, Brahma Sahampati memohon kepada Sang Buddha, “Semoga Sang Tathagata, demi belas kasihnya kepada umat manusia, berkenan mengajar Dhamma. Dalam dunia ini terdapat banyak orang yang dihinggapi kekotoran batin dan ada yang mudah mengerti Dhamma yang akan dikerjakan”.

Beliau berkhotbah di banyak tempat mengajarkan tentang “Cara hidup” yang lebih baik dengan melepaskan segala kemelekatan duniawi, tidak berbuat segala bentuk kejahatan, suka memaafkan, dermawan, pengendalian diri akan hawa nafsu dan mengendalikan pikiran. Dari banyaknya khotbah beliau di berbagai tempat, mulai terkumpul banyak sekali murid-murid yang ditahbiskan. Setelah mempunyai banyak murid. Sang Buddha kembali ke Kapilavastu, tempat kelahirannya. Menurut kisah, pada waktu inilah beliau memperlihatkan “Mukjizat Ganda”. Buddha dapat terbang ke langit dan dari tubuhnya memancar air yang ketika air itu diusapkan ke wajah seorang yang buta, maka orang itu kembali mendapat penglihatannya.

Sang Buddha terus menyebarkan ajaran Dhamma hingga bertambah banyak pengikutnya bahkan istrinya, Yashodara dan Raja Suddhodhana yang ditahbiskan dan mencapai tingkat “Arahat”.

Beriringan dengan penyebaran Dhamma, Sang Buddha mencoba merekonstruksi kembali tradisi yang umumnya berkembang secara turun-temurun di tengah masyarakat India dengan menolak empat aspek utama :

  1. Otoritas teks-teks Weda (Authority of the ancient Vedic Text)
  2. Sistem Pengkastaan (The Caste System)
  3. Penyembahan terhadap banyak Tuhan (The Many Hindu Gods)
  4. Kependetaan / Kebangsawanan Pendeta (Hindu priests)

Menjelang mangkat, Sang Buddha telah mewasiatkan beberapa pesan dan salah satunya yang terpenting dengan adanya pengkabaran “Buddha Yang Dinantikan” yang dikenal dengan nama “Maitreya”. Hal ini dikisahkan dalam suatu percakapan di antara Sang Buddha dengan Ananda :

Ananda bertanya, “Siapakah akan mengajar kita semua selepas kamu meninggalkan kami?”

Gautama Buddha menjawab:

“Saya bukanlah Buddha yang pertama atau yang akhir yang didatangkan ke dunia ini. Selepas aku seorang Buddha lagi akan dihantar ke dunia ini. Dialah seorang yang kudus atau suci, yang mempunyai kesedaran yang tinggi, yang dikurniakan dengan kebijaksanaan, mempunyai akhlak yang baik, yang mengenali alam ini, pemimpin manusia yang bijaksana, yang dikasihi oleh malaikat dan makhluk lain. Dia akan mengajar kepada kamu semua satu agama atau kebenaran yang kekal abadi serta yang terpuji. Agama yang diajar oleh Buddha ini akan menjadi satu cara hidup yang sempurna dan suci. Kalau anak murid aku beratus-ratus tetapi anak murid Buddha ini ialah beribu-ribu.”

Ananda bertanya lagi, ‘Bagaimana kami hendak mengenali Buddha ini ?’

Jawab Gautama Buddha: “Dia akan dikenali dengan gelaran Maitreya.”

Menurut informasi yang didapatkan dari narasumber umat Buddha. Tradisi ajaran Buddha mulai disampaikan secara lisan kepada Ananda sang pelayan Buddha. Ketika Ananda mulai lupa akan sabda sang Buddha, maka ia akan meminta Sang Buddha untuk mengulanginya. Ajaran tersebut diwariskan secara turun temurun dan terpelihara hingga saat ini. Salah satunya yang terkenal adalah kitab Dhammapada yang di dalamnya memuat sabda-sabda Sang Buddha.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami

Sibiren.com lahir dari jalanan, rahim kandung peradaban, tanpa beraffiliasi ke organisasi manapun, Kami berkomitmen menjaga independensi dalam setiap gerakan.

Merawat budaya, Menghidupkan tradisi ilmiah dan Mengutamakan kemanusiaan adalah kunci utama dalam membangun jembatan menuju Peradaban Indonesia yang Futurusitik. Inilah jalan kami ikhtiarkan.  Inilah jembatan kecil yang kami sebut Care For Humanity, Hone Intellectuality, Strengthen Spirituality

Sibiren.com dengan semangat ingin menyuguhkan ide yang beragam dalam Indonesia kita. Solidaritas, Intelektualitas dan Spiritualitas adalah 3 hal utama yang menjadi fokus kita untuk di perkuat di Bumi Nusantara sebagai Ikhtiar menuju Bangsa yang memiliki Peradaban Maju.