Dalam sebuah gagasan yang seringkali dinyatakan oleh kalangan atheist dan anti-theist bahwasannya kegiatan “ibadah/ubudiyah” tidak mempunyai manfaat sedikit pun. Satu analogi yang menggelikan dilontarkan oleh mereka dengan membandingkan ibadah dengan mencuci tangan. Mereka berargumen, melakukan atau tidak melakukan cuci tangan memiliki konsekuensi yg jelas karena dampaknya sudah dijelaskan secara medis dalam jurnal-jurnal ilmiah ataupun pernyataan para ahli yang bersangkutan. Tidak demikian halnya dengan ibadah yang belum terverifikasi secara valid kemanfaatan dari kegiatan ibadah itu sendiri sehingga mereka lebih memilih melakukan hal yg jelas dan kuat verifikasinya semisal dengan mencuci tangan atau lebih memilih membaca buku prosedur keselamatan pesawat daripada membaca doa. Demikianlah simulasi paradigma berfikir kaum atheist yang tidak percaya akan Tuhan dan kaum anti-Theist yang memusuhi entitas Tuhan.
Paling minimal sebagaimana yang diungkapan dalam sikap Einstein yang mengaku beriman akan adanya Tuhan, “Tidakkah cukup dengan iman saja dan berbuat baik?” sebagai tindakan lanjut dari kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Einstein, tidak ada gunanya memasuki agama formal seperti Kristen dan Yahudi dengan berbagai ritual-ritualnya.
Perlu diketahui beberapa fakta yang hakiki berkaitan dengan kegiatan peribadatan/ritus-ritus kaum beragama. Yang pertama, dalam historisitas umat manusia tidak ada satupun sistem kepercayaan yang tidak mengintroduksi ritus-ritus/ibadah. Sebut saja misalnya agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu dan lain sebagainya meniscayakan ritus-ritusnya sendiri. Ataupun aliran kebatian non-formal seperti Masonry atau Theosofi juga mengintroduksi ritus-ritus paling minimal melalui kegiatan “bai’ah”/ ikrar ataupun upacara konfesi. Sebut saja kaum komunis, golongan yang bahkan tidak berhaluan religiusitas sama sekali juga mengintroduksi ritus-ritus setidaknya mereka melakukan penghormatan terhadap lambang partai dan penghayatan terhadap doktrin-doktrin dan ideologi yang menjadi pandangan hidup dan cita-cita bersama.
Dalam persoalan yang pertama ini jelas sekali “ibadah” merupakan fitrah manusia. Ibadah dalam makna “pengagungan” terhadap entitas Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kecenderungan cara hidup umat manusia. Setiap komunitas sekalipun tidak berpretensi relijiusitas pasti melakukan penghormatan terhadap pemimpinnya / founding father gerakan/ penggagas ideologi tertentu. Seperti halnya kaum komunis yang begitu menghormati Karl Marx dengan ideologi Marxismenya disertai dengan kemauan yang membara menerapkan ideologi tersebut dalam masyarakat.
Baca juga: PENUTUPAN PENGABDIAN MASYARAKAT: BANYAK PELAJARAN YANG DIAMBIL DARI KEGIATAN INI
Disinilah kemudian agama menjadi peran untuk mewadahi dan menyalurkan tindakan-tindakan penghormatan, bakti / kebaktian dan penghayatan itu secara baik dan benar. Tolak ukur atau batu penguji kebenaran tindakan devotional itu bagaimana kegiatan ritual itu berimplikasi pada pengangkatan harkat dan martabat manusia. Agama dalam hal ini, merealisasikan itu dengan memfokuskan pemujaan kepada “Dzat” Yang Maha Esa sebagai entitas tertinggi di atas semua makhluk. Dengan demikian, manusia tetap pada posisinya sebagai “Makhluk Tertinggi” dan melahirkan revolusi sosiologis akan lahirnya “egalitarianisme” atau kesetaraan posisi manusia dengan tidak saling mengkultuskan satu sama lain dan menghilangkan ketimpangan struktur sosial tersebut. Kemudian melahirkan solidaritas antar sesama untuk meruntuhkan segala bentuk “tirani” yang dilakukan makhluk untuk mengeksploitasi sesama manusia yang tentunya bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri.
“Persoalan Kedua” agama / sistem relijiusitas berbeda dengan berbagai disiplin ilmu dan filsafat yang semata-mata berdimensi rasionalitas melainkan meniscayakan sifat “Supra-rasional” dan “Spiritual” sehingga dibutuhkan proses inisiasi membuka konektivitas secara supra-rasional tersebut melalui wadah ibadat yang bersifat vertikal dalam artian jalinan interaksi dengan entitas Tuhan itu sendiri yang tentunya tidak bisa dilakukan semata-mata empiris dan rasional. Dalam konteks agama Islam, makna ibadah bisa saja dalam kegiatan-kegiatan horizontal lainnya seperti hubungan antar sesama manusia, makhluk dan alam sekitarnya dengan perbuatan-perbuatan kebajikan, berderma, saling menolong dan menunjukkan akhlak/adab yang baik sebagai upaya menyenangkan sesama manusia jika dilakukan semata-mata demi ketundukan dan kepasrahan “Islam” kepada Tuhan Yang Maha Esa maka akan bernilai sebagai ibadah.
Persoalan Ketiga sebagaimana yang sedikit dijelaskan pada persoalan pertama bahwa kegiatan Ubudiyah merupakan satu kegiatan sentral yang tidak dapat dipisahkan dalam konteks masyarakat yang beragama. Ibadah merupakan identitas keagamaan. Melalui ibadah ditemukan makna sejati sebagai manusia yang beragama.
Dengan demikian ibadah / kegiatan ubudiyah yang dilakukan oleh umat beragama merupakan fitrah manusia yang merupakan keniscayaan. Sebagai bentuk peribadatan yang benar seharusnya memberikan implikasi langsung terhadap banyak hal dan memiliki konsekuensi langsung dalam keterlibatan manusia dengan alam realitas. Melalui ibadah dapat mendorong umat beragama memiliki kedekatan/kehangatan dengan Tuhan sehingga implikasinya berdampak pada perbuatan-perbuatan nyata sebagai ekspresi pengabdian seorang hamba untuk menyenangkan sesembahannya, Tuhan Yang Maha Esa.