Menyegarkan Kembali Makna Hijrah
Saat artikel ini ditulis, kita sedang berada pada penghujung bulan Dzulhijjah 1442 H. Di mana itu merupakan penutup Tahun Baru Islam Hijriah. Artinya, sebentar lagi kita akan memasuki Tahun Baru 1443 H. Salah satu yang identik dengan tahun baru ini ialah kata Hijrah. Sebuah kata yang belakangan menjadi populer dan di berbagai kalangan.
Apa sebenarnya makna Hijrah? Bagaimana sejarahnya? Apa relevansinya dengan masa kini? serta bagaimana implikasinya terhadap dunia modern masa kini?
Di kalangan selebriti, influencer kerap kali menggunakan kata hijrah yang bertumpu pada perubahan, sehingga memunculkan asumsi bagi masyarakat awam bahwa Berhijrah itu adalah mengubah style pakaian, menumbuhkan jenggot, dan mulai mencampuri komunikasi dengan kosa kata “arab” seperti akhi, afwan, syukron.
Penulis tidak menafikan bahwa ada hijrah dalam beberapa perubahan yang tertulis di atas, tetapi penulis ingin menegaskan mengenai makna hijrah yang setidaknya bagi penulis sendiri mempunyai makna yang tidak hanya sekedar mengubah style fashion dan berkomunikasi.
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita intip sedikit mengenai sejarahnya. Secara historis, Hijrah merupakan peristiwa di mana baginda nabi meninggalkan kota Makkah dan berpindah ke Madinah, yang kemudian itu pulalah yang dimonumentalkan menjadi awal perhitungan oleh Umar Bin Khattab guna menyusun Tahun Baru Islam Hijriah.
Lebih jauh, dalam Al Qur’an kata hijrah di ulangi sebanyak 32 kali yang termaktub dalam 17 surat dan 27 ayat. ada hal yang perlu di garis dibawahi disini bahwa dalam masing-masing ayat itu memiliki tujuan yang berbeda-beda. Pada pokoknya, ada nilai-nilai fundamental, sebuah titik temu di mana kata-kata yang berulang tadi menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Salah satu ayat yang sering dipakai dalam penggunaan kata hijrah ialah Q.S. An Nisa’ ayat 100:
وَمَنْ يُّهَاجِرْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِى الْاَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيْرًا وَّسَعَةً ۗوَمَنْ يَّخْرُجْ مِنْۢ بَيْتِهٖ مُهَاجِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ اَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ࣖ
Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Dari sisi linguistik, Ahmad Warson Munawwir dalam Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia menyebutkan bahwa kata hijrah berasal dari bahasa arab hijratan berbentuk isim mashdar dari kata hajara-yahjuru-hajran yang artinya berupa tarakahu atau meninggalkan serta Qata’ahu yang artinya memustuskan.
Makna itu tentu seperti lautan lepas, memiliki pengertian yang amat luas. Namun, kita mengerti bahwa Hijrah meminta kita untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang olehnya kita akan memutuskan sesuatu dan berpindah dengan meninggalkan sesuatu. Selanjutnya kita akan menggunakan perspektif Tafsir. Ada tiga pengertian dari tafsir yang bagi penulis cocok dalam konteks ini.
Pertama, mari kita teropong pendapat Sayyid Kutub dalam tafsirnya “Fi Zilalil Qur’an,” yaitu hijrah dibatasi hanya dilakukan fi sabilillah atau di jalan Allah. Inilah hijrah yang diperhitungkan di jalan Islam. Jadi, hijrah bukan untuk mencari kekayaan, menyelamatkan diri dari penderitaan, mencari kenikmatan dan kesenangan dan untuk tujuan hidup duniawi.
Selanjutnya adalah pendapat Buya Hamka dalam Tasirnya “Al-Azhar,” beliau menjelaskan betapa teguhnya Islam karena tiga hal yakni, Iman, Hijrah dan Jihad. Jika iman telah tumbuh, maka harus siap berhijrah. Jika sanggup berhijrah maka telah siap mengatur kekuatan dan menumpahkan kemungkaran, dan yang demikian adalah jihad. Sebab itu, hijrah bukanlah lari, akan tetapi rentetan perjuangan.
Sementara Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Tafsirnya “Al Mishbah,” menuturkan dalam konteks An Nisa’ ayat 100 tadi bahwa bahwasanya ayat ini merupakan janji yang akan diberikan oleh Allah bagi orang-orang yang berhijrah yakni mereka yang meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk ditinggalkan dan itu dia lakukan di jalan Allah, yakni dengan tulus akan memperoleh kemudahan di muka bumi ini sehingga membuat musuh merasa iri terhadap hal tersebut.
Kemudian hal ini dipertegas bahwa hal tersebut didapatkan bagi mereka yang keluar dari rumah untuk kepentingan hijrah maka ketika maut merenggut meskipun ia belum berhijrah, namun sudah diniatkan untuk berhijrah, maka ganjarannya sama dengan orang yang berhijrah.
Dari berbagai pengertian di atas, kiranya kita mulai memiliki setidaknya dua kesimpulan yang tidak sempit. Pertama, Hijrah tidak akan pernah berhenti, sebab ia adalah perjuangan. Maka, jika ada yang menyebut dirinya hijrah, kemudian merasa cukup dan sudah alim, Maka sesungguhnya itu bukanlah hijrah, bahkan bisa jadi terjerumus pada sesuatu yang buruk.
Kemudian yang kedua adalah hijrah berfokus kepada isi, gerak langkah. Dengan terus berusaha mengejakan semua perintah Tuhan, dan berjuang meninggalkan larangannya. Dan yang terpenting adalah digaris bawahi adalah bahwa keseluruhannya mesti di niatkan untuk nilai-nilai ukhrawi, bukan duniawi.
Pada akhirnya, kita akan menemukan angin segar dalam makna ini. Bahwa hijrah mesti berangkat dari hati, belajar dengan baik, dan dengan rendah hati selalu menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan, manusia dan alam. Hijrah tidak terikat pada style pakaian tertentu atau cara bicara tertentu.
Pada pokoknya, ia meminta kita untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk, ke arah yang lebih. Momentum Tahun baru ini sangat cocok digunakan untuk rehat sejenak, merenung, dan HIJRAHLAH.