Pagi-pagi sekali, tiba-tiba saya teringat celetuk seorang kawan yang bertanya; “Wal, menurutmu agama ini, benar atau enggak sih?” Pertanyaan itu ia lontarkan usai membaca berita dugaan pelecehan seksual yang terjadi di sebuah pesantren. Dari raut wajahnya terlihat kekecewaan mendalam sepertinya. “Kalau agama itu benar, mengapa banyak peristiwa pelecehan, kekerasan, yang justru terjadi di lingkungan agama?” sambungnya.
Jujur saja, saya diam seribu bahasa saat mendengar pertanyaan-pertanyaannya. Ada jawaban klise yang terus kita lontarkan dalam menjawab pertanyaan itu. Ya, bahwa jika ada peristiwa seperti itu, jangan salahkan “agamanya,” melainkan “manusianya.” Namun kenyataannya melihat seorang kawan dengan raut wajah yang menyedihkan dengan pertanyaan mendalam begitu, saya tidak bisa menjawab sesederhana itu.
Islam kembali menjadi objek “seksi” yang semakin hangat diperbincangkan. Banyaknya interpretasi soal Islam membuat berbagai kalangan mengajukan sejuta pertanyaan kembali soal mana wajah Islam sebenarnya. Kenyataan bahwa tanah Arab tempat di mana agama ini lahir, justru memiliki konflik berdarah hingga hari ini merupakan fakta yang tak terbantahkan. Aksi terorisme yang banyak bertanggungjawab terhadap berbagai aksi itu pun membawa organisasi atas nama Islam, ISIS, dan Al-Qaeda contohnya.
Sementara itu Indonesia dengan mayoritas umat Islam terbesar di dunia memiliki rentetan peristiwa memilukan terkait kekerasan atas nama agama. Tragedi Bom Bali 2002 yang menewaskan setidaknya 202 jiwa. Ratusan hati anak hancur berkeping-keping lewat peristiwa tersebut, pelukan hangat sang ayah sehari sebelum kejadian tersebut ternyata menjadi pelukan hangat terakhir yang ia akan menitikkan air mata jika mengingatnya kembali.
Belum lagi pada tahun 2018, Surabaya diguncang aksi pengeboman berturut-turut di Markas Polrestabes dan menyasar tiga tempat ibadah non-Muslim. Aksi terkutuk itu, seakan-akan memaksa kita menyaksikan pertarungan “Tuhan” yang menyerang rumah “Tuhan” lain. Dalam dua dekade terakhir, kita telah mengalami banyak serangan dari teroris yang membawa nama Islam.
Tidak hanya itu, Komnas Perempuan mencatat, bahwa data sepanjang 2015 hingga 2020 menunjukkan bahwa pesantren berada dalam urutan kedua dalam laporan kekerasan seksual. Sebuah fakta tak terbantahkan jika kita menilik corak beragama di Indonesia belakangan ini. Polarisasi tanpa henti, sikap “suka marah” yang mengarah pada saling tuding bahkan saling mengkafirkan, atau menganut paham “takfiri”, di saat yang bersamaan kita masih mudah menemukan pemuka agama yang berkata kasar di atas podium dakwah, jejak digital masih mencatat saat ada rumah ibadah dan pemakaman yang menolak mengurusi jenazah hanya karena memiliki perbedaan pilihan politik. Kawan, inilah wajah kita hari ini.
Peristiwa-peristiwa di atas tentu menjadi kesenangan tersendiri bagi beragam media. Ada banyak media yang tentu saja teguh dengan prinsip bad news is good news. Sehingga pemberitaannya terus di tayangkan. Hal ini memicu timbulnya framing bahwa Islam itu adalah yang seperti tadi. Menjadi Islam adalah menjadi orang yang terbelakang, menjadi Islam adalah menjadi manusia yang suka kekerasan, saling bunuh membunuh, dan seterusnya.
Jika berselancar di media sosial, maka mudah saja menyaksikan kemunculan sikap skeptimisme terhadap agama di kalangan anak muda belakangan ini. Ada semacam kejenuhan saat melihat bermacam peristiwa yang menyertakan nama Islam. Mulai dari persoalan sosial, ekonomi, hingga politik. Melalui konten-konten yang disajikan, ada banyak generasi muda yang mulai berpikir kembali Islam itu solusi dari masalah atau justru masalah dari solusi. “The solution of a problem or problem of a solution.” Semakin kesini, semakin kita akan mudah menemukan sikap kecewa terhadap agama.
Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Saya akan memulainya dengan memaparkan data dari Bappenas. Pada 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa.
Maka, apabila kita berbicara solusi di tengah peliknya beragama, sasaran yang paling tepat sesungguhnya adalah anak muda. Mereka yang akrab disapa milenial hingga generasi Z. Merekalah yang akan mengisi kebanyakan ruang bangsa di masa depan. Penguatan moderasi beragama harus menjadi project jangka panjang. Kalau saja kita lalai dalam menilik anak muda dalam moderasi beragama ini, saya percaya saat bangsa ini yang seharusnya mengalami bonus demografi, justru kita masih saja akan membicarakan intoleransi, atau justru lebih parah dibandingkan hari ini.
Sebelum lebih jauh, saya ingin menuturkan bahwa tulisan ini ditulis oleh anak muda yang lahir di tahun 2000 atau lebih akrab disebut sebagai generasi Z dan beragama Islam. Maka, bilamana artikel ini banyak berbicara soal moderasi beragama di mata “milenial”, sesungguhnya isu ini sangat dekat dalam kehidupan dan lingkungan saya sendiri.
Moderasi agama jelas berbeda dengan moderasi beragama. Agama tentu sudah moderat, bukan agama namanya jika mengajarkan kekerasan, sementara moderasi beragama berbicara tentang cara pandang, sikap, dan perbuatan orang yang menjalankan agama tersebut. Jika bentuk moderasi agama adalah lantang berbicara tentang melindungi kaum yang lemah, maka moderasi beragama akan berbicara soal bagaimana caranya untuk melindungi kaum msutad’afiin (tetindas/lemah).
Dalam Islam ini sikap ini disebut sebagai Wasathiyah. Kita mengenal ungkapan yang masyhur dalam dunia Islam, bahkan kadang di anggap sebagai hadis, yaitu; “خير الأمو أوسطها” bahwa sebaik-baik urusan adalah moderat atau pertengahan, tidak condong ke kiri maupun kanan. Itulah kenapa moderasi beragama tidak hanya menyasar kaum ekstrimis, tapi lebih dari itu. Moderasi beragama meminta kita untuk memahami substansi atau esensi dari ajaran agama itu sendiri.
Sebagai agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat, seorang muslim sejatinya tidak hanya memiliki andil yang besar, tapi sangat menentukan terwujudnya hidup yang penuh kedamaian di Indonesia.
Setidaknya ada 3 hal yang bisa menjadi fokus utama bagi pemuda dalam mengambil peranan di tengah problematika umat beragama.
Pertama, memilih guru agama yang tepat. Mengingat konten islami sudah banyak di medsos, kita mungkin sering menemukan pertanyaan, “Bagaimana cara memilih guru agama tepat?”. Kiranya kisah Rasulullah saat mengutus Mu’az bin Jabal yang akan berdakwah ke Yaman dapat kita jadikan sebagai rujukan. Nabi berpesan: “Wahai Mu’az, berikanlah kabar gembira, bukan ketakutan. Permudah jangan persulit.”
Sepulang dari Perang Uhud, saat umat meminta Rasul untuk melaknat musuhnya, justru Nabi berpendapat lain dan bersabda: “Aku diutus membaca cinta. Aku tak diutus untuk melaknat”. Nabi sendiri adalah seorang yang murah senyum dan sejarah merekam betapa Nabi senang bercanda dengan sahabatnya.
Jika kembali ke pertanyaan tadi, jawabannya mudah saja; jika setelah mendengarkan dakwahnya hatimu merasakan ketenteraman dan kedamaian, ikutilah. Jika, yang terjadi justru sebaliknya, hatimu merasa penuh kebencian, dan memusuhi segalanya, sudah saatnya barangkali pindah guru.
Kedua, kematangan ilmu pengetahuan. Penguatan moderasi beragama memerlukan ilmu, tanpa kemantapan ilmu, kita tidak akan mampu memetik substansi atau esensi dari ajaran agama. Ada banyak anak muda yang memiliki kesenangan dan kecintaan terhadap agama, namun tanpa ilmu kecintaan seperti itu akan mengarah kepada cepat emosi hingga mabuk agama.
Dalam literatur sejarah, sejarawan banyak berdebat tentang kapan pertama kalinya Islam menginjakkan kaki di Nusantara. Beragam pendapat muncul disertai dengan masing-masing teorinya. Menariknya adalah di tengah ragam pendapat tentang kapan Islam masuk ke Indonesia, sejarawan menyepakati bahwa masuknya Islam di bumi gemah ripah loh jinawi ini tanpa pertumpahan darah, sehingga ia menyebar dengan penuh ketenteraman. Sangat berbeda dengan bangsa lain yang dilakukan dengan penaklukkan, bahkan harus dengan pertumpahan darah.
Dengan demikian, corak beragama yang paling cocok dengan masyarakat Nusantara adalah beragama yang ramah, bukan marah. Beragama yang mengajak bukan menginjak, Beragama yang merangkul, bukan memukul.
Ekspresi beragama dengan penuh cinta menjadi sangat penting. Sikap beragama seperti inilah kemudian yang melahirkan sikap cinta terhadap tanah air. Berislam saja tidak cukup, Berbangsa saja juga tak bisa, keduanya seiring dan sejalan. KH Hasyim Asy’ari, Pendiri NU menyebutkan: “Hubbul Wathon Minal Iman” bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman.
Jika Nabi Muhammad memakai jubah sebagai pakaian bangsa Arab, bukankah itu cerminan bahwa menghidupkan tradisi adalah ajaran agama? Artinya, jika ada orang yang tak berjubah, namun senang pakai batik karena ekspresi cinta kebangsaan, sesungguhnya itu juga disebut sebagai mengikuti sunnah Nabi.
Tidakkah dua hal di atas merupakan teladan yang tak bertepi, kendati demikian teladan itu juga akan terlihat buram jika tidak disertai ilmu pengetahuan.
Ketiga, digitalisasi dakwah. Generasi muda kini lebih banyak menghabiskan waktunya di depan layar HP atau laptop. Bahkan sebagian waktu mereka habis di sana. Tidak hanya itu, sumber penghasilan saat ini juga banyak berasal dari digital. Oleh karenanya, para pendakwah harus lebih menggencarkan konten dakwah yang “asyik dan anti-ribet” di berbagai platform. Mulai dari tampilan yang enak dipandang, video kreatif, istilah yang akrab dengan muda, hingga pembuatan film yang keren.
Tiga hal di atas dapat menjadi acuan bagi generasi muda jika mengambil peran dalam moderasi beragama. Jika saja tiga hal di atas dapat kita maksimalkan, saya percaya saat negeri ini berada dalam bonus demografi yang dihuni oleh mayoritas masyarakat yang berada dalam usia produktif, kita tak lagi akan berbicara soal intoleransi, paham ekstrem, dan sebagainya.
Di masa depan, saya membayangkan, suatu saat ketika membuka handphone, akan muncul beragam dakwah santun yang asyik, postingan dan komentar-komentar di medsos tak lagi bernada kebencian, satu dua tweet saling balas tentang kedamaian beragama di lingkungannya yang beragam.
Kita tak lagi akan menyaksikan berita-berita tokoh agama yang suka mencaci maki ditangkap polisi, bukan pula berita terorisme yang menghancurkan nurani. Di pagi hari, dengan gorengan dan kopi, kita menyaksikan tokoh agama dengan latar belakang keilmuan yang berbeda, duduk bersama, mereka menyerukan umat bersatu, menghidupkan tradisi keilmuan, saat itulah kita benar-benar merasa damai hidup sebagai Manusia Nusantara. Saat itu pula kita tunjukkan kepada dunia bahwa inilah kita, sebuah bangsa yang beradab yang menjunjung tinggi kedamaian bukan hanya sebatas slogan belaka.
Artikel ini pertama kali terbit di gusdurian.net