Rasulullah yang diutus sebagai rahmat dan menyempurnakan akhlak mulia, bukankah cara terbaik memperingati kelahirannya adalah dengan meneladani beliau? Maka tidaklah ada cara terbaik dalam mencintai nabi selain meneladani beliau. Setelah sebulan lamanya kita di bulan Rabi’ul Awwal, Sudahkah kita menelusuri sifat Rasulullah dan Mengimplementasikannya?
Dalam Q.S. Ali Imron 159, Allah SWT berfirman mengenai kepribadian Rasulullah yang patut kita teladani:
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.
Ayat tadi menggambarkan tentang kelembutan seorang nabi yang menjadi kunci bagaimana orang jatuh cinta kepada Islam. Kita masih ingat kisah beliau yang secara rutin menyuapi seorang pengemis buta beragama Yahudi di pasar Madinah. Setelah beliau wafat, barulah diketahui bahwa sang pengemis pun tak mengenal yang menyuapinya dengan penuh cinta selama ini adalah Nabi Muhammad.
Abu Bakar Ashidiq pun mengetahui kalau saat menyuapi pengemis buta itu selalu menyumpah serapahi Rasulullah. Inilah Baginda Nabi, ia tidak hanya lemah lembut kepada orang yang ia cintai, tapi juga kepada mereka yang berseberangan dengannya.
Lalu, pernahkah kita di sakiti orang? atau jangan-jangan kitalah yang sering menyakiti orang lain. Kiranya sikap lemah lembut itulah awal dari bagaimana kita menjadi pribadi pemaaf. Sebagai mana yang termaktub dalam ayat tadi, “kalau saja kamu kasar, maka orang-orang di sekitar mu akan berjauhan”
Kemudian setelah itu, maafkanlah. Khatib teringat pada Ka’ab Bin Zuhair, seorang penyair yang konsisten menghina nabi dengan syair-syairnya. Suatu saat sahabat mencari dan menghabisinya, namun ia bertemu Rasulullah terlebih dahulu tanpa memberi tahu bahwa Ka’ab Bin Zuhair yang ingin di habisi para sahabat nabi itu adalah dirinya.
“Ya Muhammad, Jika Ka’ab Bin Zuhair meminta maaf dan masuk Islam, apakah kamu menerimanya?” tanya Ka’ab tanpa mengenalkan identitas dirinya. Rasulullah menjawab dengan tulus, “tentu di maafkan dan di terima, itu lah makna taubat sesungguhnya”
Mendengar jawaban nabi, Ka’ab bin Zuhair kagum. Jawaban nabilah yang meyakinkan dirinya memeluk Islam dan menyanjung-nyanjung Nabi dengan sya’ir luar biasa. Tak sampai disitu, Rasulullah pun menghadiahinya dengan selimut bergaris.
Kalaulah memang Nabi kita jadikan sebagai Uswah (teladan) terbaik, maka menjadi pribadi pemaaf adalah salah satu jalan terbaik dalam meneladani nya. Semoga kita semua menjadi manusia berlapang dada, pemaaf, dan bersikap lemah lembut.
Izinkan khatib menutup khutbah ini dengan sebuah hadits: ‘Tidaklah seseorang memaafkan kecuali Allah akan menambah kemuliaannya.’ (HR Muslim no 2588).”
Selesaikan semuanya dengan Cinta
Dewasa ini, telah kita saksikan berbagai masalah yang terus menghantui. Mulai dari kerukunan antar umat beragama, kelompok yang kadang mengalami gangguan, kondisi perpolitikan yang tidak stabil, hingga masalah-masalah klasik yang sering kita jumpai sehari-hari. Dari kekerasan rumah tangga hingga penyakit masyarakat.
Sejuta cara telah dilakukan untuk mengatasi banyak masalah tadi, sayangnya masalah-masalah itu selalu muncul dan fakta yang paling menyedihkan adalah semakin kesini, justru spektrumnya semakin kuat dan luas.
Kaum Muslimiiin.
Sejenak kita mengintip bagaimana ajaran Islam dalam menyikapi berbagai hal. Salah satu yang paling fundamental dalam Islam ialah tentang fungsi penciptaan manusia yang diterangkan dalam Al Baqarah ayat 30, di mana manusia adalah makhluk mutakhir sebagai “wakil Tuhan” (Khalifah) di muka bumi untuk menjaga keberlangsungan alam ini.
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.
Itulah kenapa dalam Islam ada yang disebut sebagai Tata Nilai Rabbaniyah, dimana pada pokoknya kita diminta untuk meneladani sifat-sifat Tuhan, dan sifat utama Tuhan ialah Kasih dan Sayang.
Oleh karena itu, segala masalah mesti diselesaikan dengan cinta. Dalam cinta dan kasih sayang itu terdapat nilai ketulusan, sehingga dalam banyak kegiatan kita lakukan bukan karena kepentingan duniawi semata, menaikkan nama, menambah harta, tahta, dst. Melainkan karena cinta.
Khatib mengajak kita semua untuk melihat cara baginda nabi menyelesaikan pertikaian antara petinggi suku saat hendak meletekakkan batu Hajarul Aswad, nabi menyelesaikannya dengan cinta, beliau buka sorbannya, para petingga memegang setiap sudut dan mengangkatnya secara bersama-sama,
Begitu pula rutinitas nabi yang menyuapi yahudi buta di Pasar Madinah, mendo’akan musuh-musuh, tidakkah kita lihat cinta disana?
Inilah yang difirmankan Allah dalam Q.S Ali Imran ayat 31:
Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Jama’ah Jum’at…
Kalaulah setiap permasalahan kita selesaikan dengan cinta, khatib percaya keharmonisan hidup akan terus mengiringi kita. Ada ketulusan, kita selalu melihat Kalimatun Sawa‘ atau titik pertemuan di antara perbedaan-perbedaan itu, ada kesamaan nilai-nilai kemanusiaan di antara kita semua, kesamaan kepercayaan bahwa kebaikan itu harus selalu digaungkan.