Dear Mahasiswa Baru, Tak Selamanya Aktivis itu Aktivis
Tiba-tiba jalanan macet, sekelompok anak muda membakar ban di tengah jalan, mereka tampak gagah dan berani bak super hero di berbagai platform media sosial, dengan tangan terkepal, foto dan video itu terlihat semakin keren.
Tak ketinggalan di kepalanya ada kain yang diikat dengan bermacam tulisan dan warna, sebuah mobil sudah disulap menjadi panggung orasi. Satu orang memegang pengeras suara di atas mobil itu, berteriak sambil mengutuk-mengutuk pemerintah, sementara barisan yang lain berteriak mengikuti. Sekali dua kali juga merusak fasilitas dan terdengar mengutuk pemerintah atau apa pun yang sedang di demo.
Iya, itu adalah sedikit potret gaya mahasiswa yang sering kita jumpai saat demonstrasi, tujuannya adalah membela kebenaran, mengutuk kebatilan dan membersamai keadilan.
Kalau melihat foto dan video yang berseliweran di media sosial, anak-anak muda itu tampak bak pahlawan yang sedang memperjuangkan kebenaran, lebih-lebih bilamana ditambah dengan lagu bertemakan nasionalisme. Lagu Tanah Pusaka, misalnya.
Namun, benarkah demikian? Apakah mereka aktivis yang disebut “agent of change” itu?
Aktivis Bukan Hanya Mahasiswa
Siapa yang layak disebut sebagai aktivis?
Rasa-rasanya di era digital ini, klaim aktivis sudah sangat mudah. Sekedar membuat status dan memperjuangkan tagar tertentu, kadang sudah dipanggil aktivis. Mahasiswa yang baru saja bergabung organisasi, gelar aktivis sudah melekat padanya dengan mudah.
Aduh. Apa Munir, Marsinah, Widji Tukul, dan aktivis lainnya berjuang semudah itu, ya? Daripada berdebat, mending kita liat bagaimana KBBI mendefinisikannya.
Setidaknya KBBI membagi dua bagian dalam mendefinisikan aktivis. Pertama, orang yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya. Kedua, pol seseorang yang menggerakkan (demonstrasi dan sebagainya).
Dari pengertian singkat di atas saja, aktivis tidak hanya disematkan kepada mereka yang sedang atau sudah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi saja. Seseorang dengan latar belakang apa pun hanya akan dikatakan aktivis bilamana ikut serta dalam perjuangan dalam mencapai tujuan, mereka yang benar-benar bergerak atau menggerakkan dalam berbagai perjuangan.
Selain mahasiswa, mereka yang berjuang untuk keadilan dan kebenaran layak disebut sebagai aktivis, dan perlu digarisbawahi adalah menjadi aktivis harus ikut berjuang. Ya, artinya ikut memikirkan, bergerak, tidak cukup masuk dan menumpang nama saja.
Selamat Datang Mahasiswa Baru
Bermacam poster dan selebaran selamat datang mahasiswa baru tersebar dimana-mana, dari gerbang masuk area kampus hingga parkiran. Beberapa mahasiswa senior terlihat santai sambil memegang brosur sambil menyapa, dan menawarkan pertolongan kepada mahasiswa baru.
Di era digital yang serba mudah, ucapan selamat datang itu juga disebarkan via akun media sosial, lengkap dengan nomor WA di bawahnya. Dengan berbagai intrik mahasiswa baru akan ikut terperangkap, jebakan pun masuk.
Anda sudah mengerti maksud saya. Iya, itulah secuil cuplikan wajah mahasiswa hari ini, yang mau tak mau harus kita akui bahwa seribu taktik dan strategi sedang berjalan, saling serbu mahasiswa baru untuk perekrutan kader organisasi yang sedang mereka urus.
Mahasiswa baru yang polos selalu menjadi sasaran empuk bagi organisasi mahasiswa ekstra kampus atau yang biasa disingkat OMEK.
Sebenarnya kehadiran OMEK ini tak sepenuhnya berkonotasi pada hal yang negatif. Dalam beberapa hal OMEK membentuk karakter mahasiswa, secara empiris kita bisa menyaksikan banyak tokoh yang lahir dari rahim organisasi ekstra kampus ini.
Namun sayang, kenyataan pahit justru harus kita terima hari ini jika melihat sepak terjang organisasi ekstra kampus ini. OMEK justru menjadi the rulling class (kelas penguasa) yang justru gagal menjadi solusi dari masalah. Beda kampusnya, beda pula penguasanya. Tapi, bisa dipastikan tetaplah salah satu OMEK yang berkuasa.
Mulai dari para pejabat kampus, organisasi mahasiswa intra kampus seperti BEM, DPM, hingga sesederhana akses menjadi panitia ospek pun sudah selesai diatur oleh mereka yang berkuasa tadi, bukan menyindir organisasi tertentu, rasa-rasanya masing-masing OMEK itu memiliki basis kampus masing-masing.
Hal-hal seperti ini menjadi salah satu penyebab bahwa tindakan tidak etis muncul saat ospek mahasiswa baru. Kegiatan yang seharusnya menjadi ajang pengenalan kampus justru menjadi ajang adu atribut organisasi, ribut karena perekrutan kader, puncak yang memalukan adalah munculnya senioritas di ajang pengenalan bagi mahasiswa baru itu.
Juli lalu, seorang mahasiswa UMI Makassar meninggal saat mengikuti pengkaderan Senat, tak lama setelah itu video viral menunjukkan mahasiswa baru yang dijemur berjam-jam (seperti ikan asin saja) di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Sebuah video bahkan menunjukkan seorang kakak tingkat membentak Mahasiswa baru dengan sebutan “Hei, Botak, botak!”
Apa kita akan menyangkal bahwa tindakan perpeloncoan tadi bukan berasal dari mereka yang lebih dulu berproses di OMEK? Sulit untuk menyangkalnya, meskipun kelakuan feodalisme yang terus mengalir di darah mereka itu tetap saja disebut sebagai “oknum.”
Menyedihkan lagi; beberapa orang justru membela tindakan tersebut dengan argumen klasik “sudah budaya, gua mah dulu lebih parah”.
Inilah wajah kita, dengan segala bentuk dominasi OMEK dalam kampus ternyata tak sama dengan cita-cita organisasi itu didirikan.
Saya tiba-tiba teringat tulisan Soe Hok Gie, dalam bukunya zaman peralihan ia menuturkan; “masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi, dan lain-lain. Setiap datang adik-adik saya dari sekolah menengah, mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.”
Dear Mahasiswa Baru, meskipun kelihatan gagah dan seperti aktivis, coba berpikir lagi ya saat direkrut.
Tak Selamanya Aktivis itu Aktivis
Seorang kawan di sebuah kedai kopi bertanya kepada saya; “kenapa ya banyak orang pintar segudang prestasi dengan banyak karya riset yang ia lakukan justru tidak ikut organisasi di kampus? Bukankah mereka akan membawa perubahan, tak hanya itu mereka kelihatannya orang-orang baik juga. Kok bisa, ya?”
Saya tak menjawabnya, sambil menyeruput kopi dan memandang hijaunya sawah terhampar luas di depan, meski terdiam sebentar, kami saling pandang dan melempar senyum, seakan-akan ada saling tahu rahasia umum yang menjadi jawabannya.
Waktunya tiba, periode kepengurusan organisasi intra kampus telah berakhir. Saatnya Pemilu Raya (di beberapa kampus namanya berbeda) digelar, mahasiswa akan memilih pemimpinnya dari tingkat jurusan hingga presiden mahasiswa. Pertemuan demi pertemuan digelar, kampanye dimulai, visi dan misi disebarluaskan, tak ketinggalan nomor urut calon disebarkan.
Sayangnya, visi dan misi yang tertera tidak lebih hanyalah sekedar formalitas belaka. Cita-cita yang tertera di dalamnya bak jauh panggang dari api, bila dilihat dari realitas kegiatan.
Mahasiswa yang digadang-gadang sebagai agent of change, kaum intelektual itu justru mempraktikkan politik yang amat menjijikkan dalam pemilihan, dan yang lebih menyedihkan lagi adadlah hal itu berlangsung dari tahun ke tahun. Jadi di samping menjijikkan, ia juga membosankan.
Alasannya tak lebih dari sekedar eksistensi organisasi, kemudahan perekrutan kader, saat pemilihan tiba, calon yang notabene berasal dari organisasi yang berbeda akan bertarung dengan segala cara. Tak jarang, adu kekerasan verbal hingga fisik berlangsung saat pertarungan itu berlangsung.
Adakah yang lebih menjijikkan dari seorang Mahasiswa yang mengutuk negara di jalanan, tapi memainkan kebusukan politik identitas, hedonisme, feodalisme di kampusnya?
Setelah terpilih, Proposal diajukan, kegiatan terselenggara, dana yang cair tak tergambar dengan event yang diadakan, dalam banyak hal, program kerja hanyalah sekedar formalitas belaka. Berbagai event yang diselenggarakan hanya akan melibatkan organisasi sang pemenang, termasuk panitia ospek yang kita bicarakan di atas.
Sehingga kita tak lagi menemukan beradunya ide dan gagasan antar mahasiswa di banyak kampus. Yang kita saksikan adalah sisa-sisa peperangan kuantitas, jumlah kelompok, bendera apa, pengikut apa, tentang siapa yang banyak menjaring mahasiswa baru ke organisasinya.
Meski tidak semua, ada banyak pula di antara orang-orang seperti ini justru menjadi pujaan banyak mahasiswa, padahal saat ia mengutuk pemerintah di jalanan, ia juga sedang membicarakan aib dirinya, bahwa banyak praktik yang ia lakukan di kampus merupakan miniatur negara yang sedang ia kutuk.
Kalau menilik fenomena saling “serbu” mahasiswa baru tadi, kemudian praktik politik di kampus, tidakkah cukup dua hal mendasar ini dapat kita jadikan sebagai rujukan bahwa tak selamanya mereka yang diidolakan memegang pengeras suara itu dapat disebut sebagai aktivis.
Aktivis adalah mereka yang dengan ketulusan hati dan pikiran tercerah kan memperjuangkan hak-hak rakyat, bukan kepentingan golongan, apalagi kepentingan baru.
Inilah mungkin arti saling lempar senyum saya dan seorang kawan tadi, bahwa tak selamanya aktivis itu aktivis, kadang ia juga menjadi kadal saat berkumpul bersama penjahat lainnya.
Mahasiswa baru harus benar-benar merdeka menentukan pilihannya. Agaknya kutipan Soe Hok Gie dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran cocok untuk menutup tulisan ini; “Hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka”.