Oleh: Moch Yusuf
Perkenalan ini berawal dari penemuan buku yang berserakan di gudang belakang kantor ma’had aly. Pada waktu itu, terdapat buku dan kitab yang sudah tidak digunakan lagi atau ditinggal pulang (rekom) oleh pemiliknya. Kitab-kitab besar banyak yang sudah usang dan tidak lengkap. Mulai dari yang tinggal satu jilid saja sampai pada yang hilang sampulnya atau bahkan halamannya. Tetapi ada satu buku yang ukurannya tidak besar pun juga tidak terlalu kecil. Selain itu warnanya yang juga mencolok, dapat menarik perhatian saya untuk diambil dan dibaca.
Semangat Muda, judul yang tertera di sampul buku tersebut dengan diatasnya berupa foto setengah badan penulisnya. Buku inilah yang akan mengantarkan saya mengenal pahlawan yang selama ini terlupakan, bahkan bisa jadi dilupakan. Meskipun buku itu tidak menceritakan kisah hidupnya, setidaknya buku tersebut dapat membuat rasa penasaran saya untuk mengenalnya lebih dalam.
Berbagai informasi dan data mulai saya cari. Mulai dari sekadar bertanya kepada kawan-kawan sampai menelusurinya di internet dan membaca buku karya beliau. Jawaban dari kawan-kawan pada akhirnya tidak bisa memuaskan saya. Ada yang bilang “Itu kan tokoh komunis” begitu juga ada yang menjawab dengan kalimat yang berbeda tetapi maknanya sama saja “Dia kan anggota PKI”. Bahkan ada yang tidak tahu sama sekali. Hal ini membuktikan bahwa sebagian dari kita -kalau enggan mengatakan kebanyakan- masih belum mengenal sosok pahlawan tersebut.
Baca juga: Bagaimana Jika Sebenarnya Tuhan Tidak Ada?
Dari hasil penelusuran di internet dan hasil bacaan saya dari karya beliau sendiri, beliau merupakan pemuda kelahiran Sumatera Barat. Ia berasal dari keluarga Islam yang taat. Rangkayo Sinah Simabur, ibunya yang melafalkan yasin berkali-kali dalam keadaan sakit dan hafal sebagian dari Alquran diluar kepala. Tidak hanya itu, menafsirkan Alquran dan mengajarkannya merupakan kemampuan yang ia miliki dimasa muda.
Pemuda ini tak lain adalah Ibrahim, tetapi ia dikenal orang dan tumbuh dewasa dengan sapaan Tan Malaka. Sekitar umur enam belas tahun ia pergi ke negeri Belanda untuk mengenyam pendidikan. Di negeri yang dijuluki negeri kincir angin ini ia mulai belajar tentang sejarah dan teori revolusi. Setelah itu, semakin lama ia semakin tertarik pada komunisme, sosialisme, dan sosialisme reformis.
Enam tahun kemudian ia lulus dan pulang ke tanah air. Di desanya ia ditawari oleh Dr. C.W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli perkebunan di sumatera timur. Hari-hari ia jalani dengan profesi sebagai guru sekaligus menjadi seorang jurnalis. Dari sinilah ia mulai merasakan kegelisahan. Kondisi sosial ekonomi yang ketimpangan dimana terdapat perbedaan kekayaan yang mencolok antara kapitalis dan pekerja. Sebagai wujud kegelisahannya ia menulis semacam opini yang berjudul Tanah Orang Miskin yang diterbitkan dalam majalah Het Vrije Woord.
Pada tahun 1920 an diumurnya yang mulai menginjak dua puluh empat tahun, ia meninggalkan Sumatera. Batavia atau sekarang disebut Jakarta merupakan tempat awal berlabuhnya. Tidak hanya di Batavia, ia juga berkelana ke Bandung, Yogyakarta, dan Semarang. Di pulau jawa inilah ia mendirikan sekolah dan bergabung dalam partai komunis. Bahkan tidak lama kemudian ia menjadi ketua partai komunis menggatikan posisi ketua sebelumnya, Semaun. Gaya kepemimpinan yang berbanding terbalik dengan pemimpin sebelumnya, Malaka sangat radikal ketimbang Semaun yang lebih berhati-hati. Sehingga tidak lama kemudian ia ditangkap oleh pemerintah Belanda karena tindakannya yang meresahkan.
Akhirnya, ia menjalani pengasingan untuk pertama kalinya di Kupang. Namun ia ingin dipindahkan ke Belanda dan permintaannya dikabulkan. Waktu mejalani pengasingannya, banyak peristiwa yang mengancam kelangsungan hidupnya. Malaka menjadi buronan polisi di dua benua dari sebelas negara. Seringkali ia menggunakan nama samaran, sekitar dua puluh tiga nama samaran ia gunakan. Tidak hanya satu atau dua kali masuk penjara, bahkan tiga belas kali ia pernah dipenjarakan.
Dua puluh tahun lamanya ia hidup dalam pelarian. Salama itulah ia berjuang memikirkan dan menyiapkan konsep kenegaraan. Dari sinilah ia mendapat julukan bapak Republik Indonesia. Naar Dee Republiek Indonesia (menuju Republik Indonesia) menjadi bukti bahwa Tan Malaka adalah orang pertama yang mengenalkan istilah Republik Indonesia. Selain itu terdapat juga karya beliau yang berjudul Massa Aksi berisi pandangannnya terkait revolusi Indonesia dan gerakan nasionalis.
Setelah proklamasi kemerdekaan di bacakan Sukarno, ia mulai bertemu dengan bangsanya sendiri dan generasi muda. Dia juga mulai menggunakan nama aslinya. Menjalani hidup semestinya. Kemudian berkeliling tanah jawa dan sampai ke kota Surabaya. Ternyata perjuangannya belum selesai, ia menyadari adanya perbedaan pandangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Dua kubu yang berseberangan itu adalah Jenderal Sudirman yang menginginkan kemerdekaan penuh dengan cara melawan Belanda dan pihak perdana menteri Sutan Syahrir yang menginginkan cara diplomasi untuk menempuh kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya.
Ternyata Tan Malaka lebih memihak kepada Jenderal Sudirman dengan strateginya. Kemudian Tan Malaka mengadakan pertemuan dan mendirikan Persatuan Perjuangan. Koalisi yang didirikannya itu mendapat respon yang kuat dari hati rakyat ditambah dengan dukungan Jenderal Sudirman. Pada bulan Februari 1946 salah satu anggota koalisi tersebut memaksa Sutan Syahrir untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan menculiknya. Namun, Tan Malaka lah yang terkena imbasnya ia dituduh sebagai dalang dibalik peristiwa tersebut dan akhirnya ia ditangkap.
Setelah dibebaskan ia mencoba mendirikan Partai Murba (partai proletar/kaum buruh). Hasilnya tidak sesuai dengan dugaannya. Berbeda dengan mendirikan Persatuan Perjuangan, ia tidak bisa banyak mengajak rakyat untuk bergabung dalam partainya. Pada bulan Desember 1948 Belanda merebut pemerintah nasional dan ia melarikan diri ke Kediri Jawa Timur. Pada tanggal 21 Februari 1949 Tan Malaka dieksekusi dan ditembak di kaki gunung Wilis, Selopanggung, Kabupaten Kediri. Dan pada tahun 2007 Harry A. Poeze, sejarawan dan peneliti kebangsaan Belanda menemukan secara spesifik letak makam Tan Malaka.
Sebagai penutup dari tulisan ini, saya akan mengutip pesan beliau dalam bukunya yang berjudul Semangat Muda. “Kawan-kawan! Janganlah segan belajar dan membaca! Dengan pengetahuan itulah kelak kamu bisa merebut hakmu dan hak rakyat. Tuntutlah pelajaran dan asahlah otakmu dimana juga, dalam pekerjaanmu, dalam bui atau buangan! Insaflah bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Ada kalanya kelak dari kamu, rakyat melarat itu akan menuntut segala macam pengetahuan, seperti dari satu perigi yang tak boleh kering. Bersiaplah! Ditanganmu tergenggam kemerdekaan Indonesia, keselamatan, kepandaian dan peradaban. Kamu kaum revolusioner!”.