Bagaimana Jika Sebenarnya Tuhan Tidak Ada?
Share on facebook
Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp
Awaluddin (Penulis)

“Perlukah manusia beragama? Kenapa bisa banyak agama, jika Tuhan hanya satu? Benarkah agama mempersulit hidup manusia?” Kira kira begitulah pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul dalam berbagai diskusi filsafat, mulai dari para filosof dulu, hingga anak anak muda di era ini.

Setidaknya ada dua jenis manusia yang terbagi dalam mempercayai hal ini. Pertama mereka yang optimis, yakin bahwa hidup ini penuh makna, kemudian yang kedua adalah mereka yang pesimis, orang- orang yang meyakini bahwa hakikat hidup ini adalah penderitaan.

Tidak dapat tidak, bahwa kedua golongan itu ada yang beragama karena keturunan “saja”, ada yang karena keterpaksaan, ada pula yang merasa bahwa hidupnya lebih terarah. Sebaliknya ada pula yang tidak meyakini dogma agama, dikarenakan kepercayaan bahwa hidup adalah menderita, dan tidak sedikit pula yang bahkan merasa nyaman tanpa didorong oleh berbagai ajaran agama. Inilah cuplikan betapa beragamnya keyakinan manusia perihal agama.

Nah, saya akan bercerita tentang bagaimana saya menemukan makna hidup bersama agama yang saya yakini. Bersamaan dengan itu saya sampaikan bahwa tulisan ini bersifat universal. Saya selalu merasa bahwa teman teman non muslim juga terus mencarinya kebenaran dan makna hidup, ada yang sudah sampai, ada yang dalam proses, seperti saya. Terus mencari seperti tanda baca “koma” bukan “titik” yang sudah berakhir.

Kiamat, Hari Akhir, Sorga, Neraka, dan berbagai kejadian yang dituliskan dalam berbagai kitab suci adalah beberapa hal yang banyak di tolak oleh mereka yang tidak meyakini agama serta menjadi alasan untuk berargumen bahwa agama tak ubahnya seperti tulisan tertulisnya karena berbagai pertanyaan tadi untuk sementara belum mampu dijawab oleh sains, dsb.

Setidaknya ada tiga poin penting ingin saya utarakan dalam hal ini:

  1. Pengetahuan Manusia itu Terbatas

 

Pengetahuan kita hanya menjangkau apa yang berada di ruang dan waktu serta karena informasi dari indra dan alam sekitar. Sementara Tuhan adalah zat yang tidak membutuhkan ruang dan waktu. Maha besar dan tak bergantung pada makhluk. Itulah kenapa Caknur dalam bukunya, Islam doktrin dan Peradaban menyebutkan bahwa Manusia yang Nisbi (terbatas) mustahil menjangkau Tuhan yang tak terbatas.

Kerinduan manusia terhadap Liqo’ (pertemuan) dengan Allah setidaknya di dunia itu hanya sampai pada titik Taqorrub (dekat) saja. Selebihnya apa saja yang terlintas di pikiran mu soal Tuhan, itu bukanlah Tuhan. Barangkali itu hanyalah perasaan saja. Itulah makna keterbatasan pengetahuan manusia. Jika tak terbatas, bagaimana kita bisa menjelaskan berbagai intuisi yang muncul secara tiba-tiba atau bahkan dorongan yang berasal dari eksternal diri kita.

  1. Orang Mati Tak Bisa Dibangunkan untuk Menjawabnya, hehe.

Meski dalam banyak literatur dituliskan tentang Nabi-nabi kita yang bercakap dengan Malaikat, orang meninggal, dan makhluk gaib lainnya, tentu mereka yang tidak memercayai agama, tidak akan puas dengan itu, palingan mereka akan berkata: “itu dongeng”.

Sayangnya, berbagai pertanyaan soal Alam Barzah, Akhirat, Keberadaan Tuhan, Surga, Neraka, dsb, paling tidak bisa dijawab oleh mereka yang sudah mati dan kita mustahil bisa menanyakannya. Dengan demikian, kebenaran yang mutlak setidak-tidaknya hanyalah milik Tuhan. Kalaupun tidak, itu hanya bisa kita buktikan setelah mati nanti, apakah hidup akan terus berlanjut, atau usai begitu saja.

  1. Sekalipun Agama adalah Sesuatu yang Sesat

Barangkali disini penjelasan penting kenapa hidup mesti beragama. Fitrah manusia itu memanglah selalu condong pada kebaikan, tetap ingin berada dalam genggaman kebenaran. Hingga lahirlah berbagai kepercayaan di bumi ini.

Bagi saya, sekalipun agama itu bukanlah sesuatu yang akan benar nantinya. Tapi ia telah memberikan kita berbagai ajaran supaya hidup ini penuh makna dan berharga. Ajaran ajarannya menuntun kita agar tidak menyesal dalam menjalankan berbagai fase kehidupan.

Kehadirannya menuntun kita untuk menjaga bumi yang amat kita cintai ini, tak hanya sampai disitu, kita memang dipelihara dalam kelembutan/kehanifan yang akan mengantarkan kita pada fitrah manusia yang diantaranya adalah kebaikan dan kebahagiaan.

Ini bukanlah tulisan yang berat dibaca seperti tulisan tuan-tuan yang pintar dan menekuni filsafat itu. Tulisan ringan ini saya harapkan mampu untuk meyakinkan kita bahwa lebih beragama, sekalipun nantinya ia bukanlah sesuatu yang benar, ia telah menuntun kita menjadi seseorang yang benar.

Kalaupun nantinya setelah mati tidak apa apa, dengan agama kita telah hidup bahagia, ajaran utamanya tentang kasih sayang telah membuat orang bergembira, sehingga mati kelak tentu tanpa penyesalan. Apalagi seperti yang saya percayai sekarang bahwa ia adalah sesuatu yang benar, betapa beruntungnya kita. Dalam Al-Baqarah Ayat 5 Allah Firmankan: Merekalah orang yang terpetunjuk dan orang yang menang/beruntung.

-Awaluddin Rao

2 tanggapan untuk “Bagaimana Jika Sebenarnya Tuhan Tidak Ada?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami

Sibiren.com lahir dari jalanan, rahim kandung peradaban, tanpa beraffiliasi ke organisasi manapun, Kami berkomitmen menjaga independensi dalam setiap gerakan.

Merawat budaya, Menghidupkan tradisi ilmiah dan Mengutamakan kemanusiaan adalah kunci utama dalam membangun jembatan menuju Peradaban Indonesia yang Futurusitik. Inilah jalan kami ikhtiarkan.  Inilah jembatan kecil yang kami sebut Care For Humanity, Hone Intellectuality, Strengthen Spirituality

Sibiren.com dengan semangat ingin menyuguhkan ide yang beragam dalam Indonesia kita. Solidaritas, Intelektualitas dan Spiritualitas adalah 3 hal utama yang menjadi fokus kita untuk di perkuat di Bumi Nusantara sebagai Ikhtiar menuju Bangsa yang memiliki Peradaban Maju.