Bagaimana Jika Gus Dur Terlahir dari Sumatera?
13 tahun lalu, 30 Desember 2009, bumi dibanjiri air mata. Tangisan itu tak hanya terlihat di Indonesia saja, tapi juga di belahan dunia lainnya. Kesedihan tersebut tak hanya terdengar di sudut-sudut Masjid, tapi juga di rumah ibadah agama lain, dari Gereja hingga Pura.
Iya, Gus dur namanya, Hero of Humanity itu pulang menemui Tuhannya.
Ada sebuah syair yang sering dibacakan Gus Dur semasa hidup. Suara khas beliau melantunkan syair tersebut terus diputar hingga kini. Berikut teks syairnya;
ولدتك أمك يا ابن آدم باكيا # والناس حولك يضحكون سرورا
فاجهد لنفسك أن تكون إذا بكوا # في يوم موتك ضاحكا مسرورا
Artinya; Wahai anak Adam, dulu kamu menangis sedangkan manusia di sekitarmu tertawa bahagia saat Ibumu melahirkanmu. Sekarang berusahalah agar kamu tertawa bahagia dan manusia menangis kehilangan, saat nanti kamu meninggalkan dunia.
Agaknya syair itu sesungguhnya menggambarkan sosok Gus Dur itu sendiri. Siapa yang tak bahagia dengan kelahiran cucu Pendiri NU yang tumbuh dan besar menjadi orang payung peneduh bagi semua golongan itu?
Kala meninggal beliau diantarkan oleh jutaan orang. Mulai dari mereka yang hari-harinya memakai sandal jepit, hingga kaum urban yang setiap hari di ruang yang penuh pendingin. Lafaz doa yang dikirimkan pun tak hanya dengan bahasa satu agama saja.
Siapa sesungguhnya Gus Dur? Kenapa ia begitu dicintai sedalam itu?
Saya hanyalah anak desa yang tinggal di Pelosok Sumatera. Tidak mudah tentunya menemukan Gus Dur secara utuh di sebuah desa yang serba kekurangan. Entah kekurangan akses informasi maupun pendidikan.
Lalu, bagaimana saya menemukan Gus Dur?
Tiba-tiba kaligrafi besar yang menggambarkan pentingnya pendidikan dihapus. Semula kaligrafi di Pondok Pesantrenku itu bertuliskan Quran Surah Al-Anbiya’ ayat 7, kemudian diganti menjadi lafaz tauhid dengan warna hitam putih.
Awal mulanya saya biasa saja dengan pergantian itu, apa yang salah memangnya dengan kalimat tauhid, bukankah itu kalimat mulia, pikirku mulanya. Namun pergantian itu ternyata tak sesederhana yang saya bayangkan.
“Antek asing sudah merajalela di Indonesia, musuh-musuh Islam sudah di mana-mana, mereka tak lagi malu menampakkan dirinya.”
Sepanjang tahun 2017 hingga 2019-an, kalimat di atas serasa tak asing kala itu, nada-nada tinggi dalam pengucapan juga masih terngiang hingga kini. Sayangnya tahun-tahun politik saat itu telah membentuk polarisasi tajam serta kebencian yang diwariskan terus menerus. Saya berasumsi pergantian kaligrafi tadi tidak lepas dari peristiwa politik kala itu.
Namun, meski tahun-tahun tersebut adalah masa-masa kelam bagi persatuan bangsa, saya justru menemukan hikmah di sana, meskipun jujur saja hal ini baru saja saya sadari. Hikmahnya adalah melalui peristiwa itu saya bisa berjumpa dengan (pemikiran) Gus Dur dan mendalaminya.
Di Sumatera Barat, NU saat itu dianggap telah melenceng, dalam banyak penuturan para tokoh kala itu NU seakan-akan dibayar untuk merusak Islam dari dalam. Tokoh-tokoh NU dihajar habis-habisan di media sosial. Mulai dari Kyai Ma’ruf, Kyai Said, hingga kontroversial Gus Dur-pun dibuka-buka kembali.
Sebagai santri yang jarang menonton TV dan bermain internet saat itu, saya benar-benar penasaran. Namun rasa penasaran ini ternyata mengantarkan saya pada proses belajar. Setiap ada kesempatan pulang untuk memegang HP selalu saya sempatkan mencari tahu fakta sesungguhnya.
Media sosial NU dan para tokohnya saya stalking terus menerus, artikel yang berkaitan dengannya dibabat habis, hingga tulisan-tulisan Gus Dur pun saya baca lagi. Saya merasa bahagia dengan momen ini. Saya masih ingat, saat santri lain tak tahu banyak tentang Gus Dur, saya justru bangga menceritakan guyonan Gus Dur yang saat itu jarang sekali didengar oleh santri desa seperti saya.
Namun hal yang lebih penting dari semua itu adalah Islam yang menyenangkan ala Gus Dur, saya bukanlah Mahasiswa S1 kala itu yang bisa berpikir bahwa pemikiran Gus Dur sangat relevan dengan tantangan global, tapi guyonannya sangat melekat saat itu, entah karena memang cocok dengan kultur pesantren.
Saat itu, saya pernah berimajinasi bagaimana jika Gus Dur terlahir di Sumatera. Saya membayangkan Gus Dur yang suka berdagang, duduk di “lapau” dengan sarung melintang di bahu. Menyeruput kopi dan melempar guyonan khas Sumatera.
Namun lebih jauh dari itu adalah bagaimana pemikiran Gus Dur itu bisa diakulturasi dengan khazanah keislaman khas Sumatera. Gus Dur adalah manusia Jawa, itulah kenyataannya. Tapi melahirkan “Gusdur-gusdur” baru dari Sumatera tentu juga bukan hal yang mustahil.
Ada hal sederhana yang sering terjadi dalam cerita cinta. Begitu pula dengan cerita pertemuan saya dengan (pemikiran) Gus Dur. Hal sederhana itu adalah jatuh cinta karena sifat humoris. Beliau mampu menjelaskan agama dengan bahasa yang sangat sederhana.
Memang hanya guyonan sederhana di tahun politik itu yang membuat saya tahu Gus Dur. Tapi, kini saya bisa mengenalnya lebih jauh. Saya tak pernah menjumpainya secara fisik. Tapi saya bisa merasakan keluhuran akhlaknya, jiwa yang tulus dalam kemanusiaan, serta kemantapan ilmu pengetahuan.
Sudah banyak tulisan yang mengulas soal Gus Dur, buku-buku Gus Dur tak terhitung yang sudah diterbitkan. Lalu tulisan ini apa? Ulasan ini tentu hanyalah setitik cahaya dari terangnya cahaya Gus Dur.
Gus Dur telah memberi teladan hidup sederhana, beragama riang dan gembira, tanpa memandang perbedaan. Mencintai Gus Dur tentu tak cukup dengan memajang fotonya di kamar atau menyablon wajahnya di baju.
Jika (pemikiran) Gus Dur yang universal tumbuh subur dalam pemikiran anak-anak Jawa, sudah saatnya pula anak-anak Sumatera berani lahir menjadi “Gusdur-gusdur” baru. Menjadi lokomotif baru dalam perkembangan di Indonesia.
Saya menjadi ingat kunjungan Gus Dur ke Sumatera Barat dulu, tepatnya di Padang Pariaman pada tahun 2008. Di hadapan puluhan ribu umat Islam beliau mengatakan kekagumannya pada Syekh Burhanuddin Ulakan.
Gus Dur telah memberikan teladan yang tak bertepi, ia telah menunjukkan kecintaannya pada Ulama Sumatera Barat. Kini tibalah masanya kita. Kitalah, Anak Cucu (pemikiran) Gus Dur. Anak-anak NU yang kini tengah berada di era di mana transformasi begitu cepat.
Meskipun banyak orang yang mengatakan kita tengah berada di jurang peradaban. Tapi, satu hal yang ingin kita pastikan; sekalipun besok adalah hari kiamat, maka hari ini kita akan tetap melahirkan “Gusdur-gusdur” baru dari Sumatera.