Salman Al-Farisi, Seorang Pemuda Pencari Kebenaran dan Pemimpin yang Zuhud
Share on facebook
Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Salman Al-Farisi, Seorang Pemuda Pencari Kebenaran dan Pemimpin yang Zuhud

Oleh: Dzulfiqar Fauzan Nafis

Foto: Caseantiques.com
Foto: Caseantiques.com

Ketika mendengar nama-nama tokoh sahabat seperti Abu Bakar, Umar, dan Abu Dzar, tentulah mereka menjadi guru kaum Muslimin dalam kesederhanaan dan kesahajaannya. Kemudian bisa saja kita berdalil corak kehidupan mereka tiada lain karena kondisi geografis bangsa Arab yang gersang dan tandus, hanya ditemui gurun pasir yang panasnya bagaikan neraka Jahannam dan bebatuan karang yang panas membara bagaikan kepala-kepala setan yang ditumpuk.

Tetapi sekarang kita dihadapkan dengan seorang putra Persia. Suatu negeri yang subur… terkenal dengan kebiasaan masyarakatnya hidup mewah, boros dan berfoya-foya. Dialah Salman Al-Farisi, salah satu di antara banyak sahabat Nabi Saw. yang memperoleh nikmat dan karunia dari Allah Swt. Hidup dalam lingkungan yang penuh dengan kemewahan harta duniawi. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh para ulama dan ahli sejarah, ia adalah putra dari seorang kepala daerah di Kota Madain, Persia yang kini kita ketahui sebagai negara Iran, di suatu desa bernama “Ji”. Selain hidup sebagai seorang pemuda yang penuh dengan kemewahan dunia, Salman juga bertugas sebagai penjaga api kuil peribadatan agama Majusi yang menjaga nyala apinya agar tidak padam. Kemudian berpindah ke dalam agama Nasrani setelah melihat keindahan cara peribadatan mereka yang menurut hemat akal dan nuraninya lebih baik dari agamanya yang lama, kemudian berguru dengan beberapa ulama Nasrani hingga saat tiba ajal gurunya yang terakhir memintanya pergi mencari dan mendampingi perjuangan seorang “Nabi Yang Dijanjikan” di suatu wilayah demikian dengan ciri-cirinya. Hingga dalam pengembaraannya, tertangkaplah ia dan hidup sebagai budak belian Bani Quraidzah yang kelak dimerdekakan oleh Rasulullah Saw. dan diangkatnya menjadi bagian “Ahlul Bait”.

………

Diriwayatkan dari Hisyam bin Hisan dari Hasan bin Ali r.a :

“Salman mendapat tunjangan negara sebanyak 5 ribu dirham setiap tahun. Ketika beliau berpidato di hadapan tiga puluh ribu orang, nampak oleh mereka sebagian jubahnya dijadikannya sebagai alas duduknya dan separuh lagi untuk menutupi badannya. Tak sedikitpun upah tunjangannya diambil untuk dirinya, semua itu habis dipergunakannya untuk disedekahkan. Sedangkan untuk kebutuhan dirinya sendiri, ia dapatkan dari hasil kerja kedua tangannya menganyam daun kurma”.

Salman pernah berkata ketika menjawab pertanyaan seseorang, “Untuk bahannya kubeli satu dirham. Kemudian kuperjualkan seharga tiga dirham. Satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham untuk nafkah keluargaku dan satu dirham untuk kusedekahkan. Sekalipun hal ini membuat Umar melarangku, sekali-kali takkan pernah kuindahkan”.

Ketika Salman masih menjabat sebagai Amir di kota Madain. Pernah pada suatu hari ia didatangi seorang laki-laki dari Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Demi dilihatnya seorang laki-laki yang tampak seperti orang biasa dan tak berpunya, dipanggillah ia dan dimintanya membawakan barang yang dibawanya dengan diberi imbalan atas jerih payahnya.

Ketika mereka sedang berjalan bersama-sama, terlihat serombongan melintasi mereka berdua dan Salman mengucap salam kepada mereka lalu mereka menjawab, “Kepada amir, kami ucapkan salam”. Laki-laki dari Syria itu sontak kebingungan, Amir? Siapakah Amir yang mereka maksudkan?. Kemudian rombongan itu berlari menghampiri Salman dan berebut memikul barang yang dipikulnya. Insaflah seorang pria dari Syria itu lalu meminta maaf dan hendak mengambil kembali barang bawaannya. Akan tetapi, Salman menolak lalu berkata, “Biarkan aku membawa barang-barangmu hingga sampai tempat tujuan”

………….

Tibalah saat-saat menjelang kewafatannya. Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya lalu berkata, “Apa yang engkau tangiskan wahai Abu Abdillah?, padahal Rasulullah Saw. wafat dalam keadaan ridha kepada anda?”. “Demi Allah, ujar Salman, “daku menangis bukan karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan kepada kita, “Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara”. Padahal harta milikku begini banyaknya”.

Kata Sa’ad, “Saya perhatikan tak ada apapun disini melainkan satu piring dan sebuah baskom”. Demikian Salman masih menganggap dirinya boros, padahal di dalam rumahnya hanya ditemukan satu piring untuk makan dan sebuah baskom untuk tempat minum dan berwudlu.

Lalu Sa’ad melanjutkan perkataannya, ‘Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan selalu kami ingat”. Berkatalah Salman, “Wahai Sa’ad, ingatlah Allah dikala suka dan dukamu. Dan putusanmu ketika menghukumi dan pada saat kedua tanganmu melakukan pembagian”.

Suatu ketika Salman pernah ditanyai oleh seseorang, “Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai amir?”. Jawabnya, “Karena manis waktu memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya.”

Tak satupun barang berharga yang disimpannya dengan erat, kecuali satu barang berharga yang benar-benar dijaga dan disimpannya. Tiada lain benda itu hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpannya untuk wewangian dikala hari kematiannya tiba. Kemudian disuruhnya sang istri untuk menaburi secangkir air dengan kesturi itu. Berkatalah Salman kepada istrinya, “Percikkan air itu ke sekelilingku. Akan tiba setelah ini mahluk Allah yang tidak makan dan tidak pula tidur, hanyalah gemar wangi-wangian…”.

Setelah selesai, ia berkata kepada istrinya, “Tutuplah pintu dan pergilah”. Dan tak lama kemudian istrinya kembali masuk, didapatinya ruh yang beroleh barkah itu naik mencapai alam tinggi, bertemu dengan Rasulullah Saw, sang Mahagurunya, demikian Abu Bakar dan Umar dan tokoh-tokoh mulia lainnya di alam Nirwana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang Kami

Sibiren.com lahir dari jalanan, rahim kandung peradaban, tanpa beraffiliasi ke organisasi manapun, Kami berkomitmen menjaga independensi dalam setiap gerakan.

Merawat budaya, Menghidupkan tradisi ilmiah dan Mengutamakan kemanusiaan adalah kunci utama dalam membangun jembatan menuju Peradaban Indonesia yang Futurusitik. Inilah jalan kami ikhtiarkan.  Inilah jembatan kecil yang kami sebut Care For Humanity, Hone Intellectuality, Strengthen Spirituality

Sibiren.com dengan semangat ingin menyuguhkan ide yang beragam dalam Indonesia kita. Solidaritas, Intelektualitas dan Spiritualitas adalah 3 hal utama yang menjadi fokus kita untuk di perkuat di Bumi Nusantara sebagai Ikhtiar menuju Bangsa yang memiliki Peradaban Maju.